Oleh Iswara N Raditya
AWALNYA, belum ada yang kenal perkakas musik yang aneh bin unik itu. Bayangkan, bentuk kibor yang lazimnya menyerupai piano tiba-tiba mengerucut jadi mirip gitar, dicangklongkan di bahu. Bedanya, kalau gitar dipetik, alat itu bisa berbunyi dengan dipencet selayaknya piano. Alat yang dipopulerkan grup Duran-Duran itu bernama moog synthesizer yang merupakan bentuk padu antara gitar, akordion, dan kibor. Musisi Indonesia yang memerkenalkan moog synthesizer di jagat musik tanahair tiada bukan adalah Fariz RM, sang multi instrumentalis Indonesia.
Naga-naganya, ketika itu Fariz mencoba memercikkan revolusi kecil di ranah musik nasional dengan menawarkan modernitas. Ia membawa gairah teknologi dengan menerobos dominasi musik “kolot” yang masih menggunakan perabotan alakadarnya. Fariz memerkenalkan teknologi Music Interface Digital Instrument alias MIDI, seperti yang kental dalam kebanyakan lagu-lagu ciptaannya. Ironisnya, praktis kala itu Fariz bertarung sendirian. Teknologi MIDI baru mulai populer pada awal tahun 2000-an atau kurang lebih 20 tahun setelah Fariz berdaya-upaya mengenalkannya.
Fariz Rustam Munaf, kelahiran 5 Januari 1961, memang berasal dari keluarga musisi. Ayahnya dikenal sebagai penyanyi di RRI (Radio Republik Indonesia), sedangkan ibunya, Anna Reijnenberg, adalah seorang guru les piano. Di bawah bimbingan sang bunda inilah awal pertemuan Fariz dengan dunia nada selain belajar piano pada Sunarto Sunaryo dan juga Charlotte Sutrisno JP.
Pada usia 12 tahun, Fariz membentuk Young Gipsy bersama Nasution bersaudara, Debby dan Odink, dengan memainkan lagu-lagu blues dan rock. Pengalaman Fariz kecil bertambah ketika ia bekerjasama dengan Addie MS, Adjie Soetama, dan Imran RN merancang operet untuk acara perpisahan di sekolahnya. Pada 1977, Fariz dan teman-teman sekolahnya seperti Raidy Noor, Erwin Gutawa, dan Ikang Fawzi, meraih juara III dalam Lomba Cipta Lagu Remaja Radio Prambors Jakarta. Mereka bernaung dalam Vocal Group SMA Negeri 3 Jakarta. Prestasi itu membuat tawaran dari beberapa grup band mulai berdatangan.
Setahun kemudian, Fariz kuliah di jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), karenanya ia juga piawai melukis. Semasa mahasiswa inilah Fariz menjadi kibordis pengganti di grup band Giant Step dan memainkan drum untuk karya-karya pentas The Rollies. Pada 21 Agustus 1978, Fariz bergabung dengan Badai Band yang sukses menghasilkan album ilustrasi untuk film Badai Pasti Berlalu. Fariz juga sempat bergabung bersama Keenan Nasution dalam band Gang Pegangsaan. Pada 1979, Fariz membantu kelompok musik dari Bandung pimpinan Harry Roesli.
Fariz berani melesat lebih tinggi dengan memersiapkan karya pribadinya. Uniknya, ia memulai dengan album kedua, Sakura, yang dirilis tahun 1980 dan sukses besar. Setelahnya, Fariz baru merilis album solo perdananya, Melangkah ke Seberang, yang belum sempat diluncurkan meski sudah rekaman sejak 1979. Album ini melibatkan Chrisye, Keenan Nasution, Yockie Suryoprayogo, Uce F Tekol, Raidy Noor, Yanti Noor, juga Iis Sugianto. Sekira tahun 1983, bersama Iwan Madjid dan Darwin B Rachman, Fariz membentuk Wow! sebagai drummer. Setelah debut album pertama, Produk Hijau, Fariz mundur dari Wow!. Fariz juga aktif di beberapa kelompok musik, termasuk Symphony, Transs, GIF, hingga Jakarta Rhythm Section, selain tentu saja pengerjaan album solonya. Ia pun sempat ikut mengajar di Forum Musik Jack & Indra Lesmana.
Pesona Farzi kian melangit. Lagu-lagu ciptaannya yang kental dengan nuansa MIDI banyak yang menjadi hits, sebut saja Barcelona, Sakura dalam Pelukan, Susie Bhelel, Menggapai Bintang, Sungguh, Selamat Datang Cinta, Lepas Kontrol, Nada Kasih, Melangkah ke Seberang, Kurnia Pesona, dan lainnya. Hingga 2003, paman dari penyanyi berbakat Sherina Munaf ini telah menghasilkan 20 album solo, 72 album kolaborasi, 18 album soundtrack, 27 album produksi, dan 13 album internasional yang dirilis di Eropa dan Asia Pasifik.
Selama karir musiknya, Fariz kerap berhubungan dengan banyak musisi beken, terlibat dalam penggarapan album para sejawatnya, antaralain Deddy Dhukun, Dian Pramana Putra, Keenan Nasution, Harie Dea, Yockie Suryoprayogo, Jimmy Manoppo,Andi Meriem Matalatta, Benny Soebardja, Indra Lesmana, Arie Koesmiran, Neno Warisman, Renny Djajoesman, Jacob Kembar Grup, Janet Arnaiz, Emillia Contesa, Achmad Albar, Delly Rollies, Norma Yunita, Yossi den Has, Marissa Haque, hingga Yovie Widianto bersama grup Nuno.
Sejak 1987, Fariz mulai bermain di belakang layar. Ia justru giat melukis kendati masih tetap sibuk di dunia suara dengan membikin jingle iklan dan ilustrasi musik untuk media elektronik, sinema, dan panggung teater. Pada 21 Agustus 2003, Fariz kembali muncul ke publik dengan menggelar konser akbar di Jakarta. Sebelumnya, pada 2001, Fariz sempat meluncurkan album Dua Dekade.
Fariz menikah dengan Oneng Diana Riyadini, mantan peragawati asal Semarang, pada 1989, dan dikaruniai tiga orang anak, dua di antaranya terlahir kembar. Pada 1996, Fariz divonis mengidap kanker liver. Fariz sempat terjegal perkara narkoba, pada 2001 dan 2007, juga kasus peledakan bom di Asrama Mahasiswa Iskandar Muda, Manggarai, Jakarta, pada Mei 2001. Polisi menemukan surat Fariz kepada Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Teungku Abdullah Syafei, di lokasi peledakan bom.
Apapun itu, Fariz merupakan sosok musisi yang tak bisa ditampik perannya. Fariz enggan dikenal sebagai artis. Ia adalah seorang seniman, pelakon seni serba bisa. Fariz adalah seorang penyanyi, pencipta lagu, penata musik, kibordis, drummer, gitaris, bassis, produser, bahkan juga pelukis. Fariz RM adalah salahsatu perevolusi musik Indonesia, melangkah ke seberang menuju pembaharuan. (Iswara N Raditya/ Tetap Bergema Community)
Rabu, 10 Desember 2008
Revolusi Fariz, Revolusi Musik Pribumi
Diposting oleh Salam Musik Indonesia! di 13.19 4 komentar
Tielman's: Virus Indo-Rock van Nusantara
Oleh Petrik Matanasi
TIELMAN BROTHER nyaris tidak dikenal di Indonesia, namun sejarah musik rock Eropa tidak akan melupakan kedigdayaan arek-arek Surabaya ini. Hebatnya lagi, band keluarga ini ikut memberi pengaruh besar dalam sejarah musik rock n roll dunia. Siapa sangka mereka ini adalah anak-anak Indonesia? Inilah band pembawa virus Indorock sebelum The Beatles berjaya.
Surabaya layak dijuluki kota Rock n Roll Indonesia. Banyak band-band besar, termasuk pengusung musik cadas lahir di Kota Pahlawan ini. Sebutlah Dewa 19, Grass Rock, Boomerang dan lainnya. Tidak banyak orang tahu bahwa Surabaya pernah melahirkan band rock kelas dunia bernama Tielman Brother. Nama ini tidak pernah dikenang dalam sejarah rock Indonesia. Entah mengapa? Mungkin karena kebijakan anti rock n roll yang Ngak-Ngik-Ngoek. Mungkin karena ayah dari musisi-musisi itu yang Kapten KNIL (Tentara Hindia Belanda).
Terlepas dari semua kemungkinan tadi, Tielman Brother layak menjadi bagian dari sejarah rock Indonesia juga. Mereka juga orang Indonesia, lebih penting lagi mereka memberi sumbangan besar bagi sejarah rock n roll dunia—yang pengaruhnya juga terasa di Indonesia. Pastinya, referensi tentang Tielman Brother di Indonesia memang terbatas.
Siapa Tielman Brother? Mereka juga band keluarga seperti Koes Bersaudara. Tielman brother terdiri dari Reggy Tielman (Surabaya, 20 May 1933) memainkan banjo,guitar dan vocal; Ponthon Tielman ( 4 Agustus 1934 - 29 April 2000) memainkan double bass,guitar dan vocal: Andy Tielman (30 May 1936) memainkan guitar dan vocal: Herman Lawrence Tielman alias Loulou Tielman (30 oktober 1938 - 4 Agustus 1994) memainkan drum merangkap vocal. Mereka berempat adalah personil inti yang cukup dasyat di atas panggung.
Selain empat bersaudara itu, adik perempuan mereka Janette Loraine Tielman alias Jane Tielman (17 Agustus 1940 - 25 juni 1993) juga ikut bernyanyi dalam band. Mereka sempat memakai nama The Timor Rhytm Brothers diawal karirnya sebelum akhirnya memakai nama Tielman Brothers—yang menjadi nama besar dalam dunia rock n roll di zamannya.
Ayah mereka yang Kapten KNIL ternyata pecinta musik. Begitu juga ibu mereka yang kerap menjadi menejer band. Surabaya 1945 adalah awal karir mereka bermusik. Zaman mereka masih bocah yang senang dolanan (bermain). Dolanan mereka sekeluarga adalam musik. Mereka kerap bermain dalam pesta-pesta keluarga. Kebanyakan band, memang mulai tampil sebagai peramai pesta—seperti pernah dialami Koes Bersaudara di awal dekade 1960an kemudian.
Tahun 1956, keluarga Tielman hijrah ke Breda, Belanda. Negeri ini memberi banyak ruang anak-anak Tielman untuk mengembangkan musik mereka. Arah mereka tidak lain rock n roll—yang identik dengan musik anak muda. Di Negeri Kincir Angin itu mereka juga mulai merekam rock n roll. Setelahnya mereka menjadi terkenal.
Kepindahan mereka ke negeri Belanda, juga telah membawa budaya tropis dan kecintaan mereka pada gitar akhirnya melahirkan term “Indo-Rock” yang populer masa itu. Cirinya adalah dominasi gitar, instrumen yang dikenalkan orang-orang Portugis saat datang ke Hindia-Belanda sekitar abad ke-14. Permainan gitar ala Portugis yang akhirnya dikenal sebagai musik keroncong ini dipadukan oleh anak-anak Timor itu dengan musik Hawaii, country, dan rock’n'roll yang mereka dengar dari radio-radio Amerika Serikat yang dipancarluaskan dari Filipina atau Australia.
Perjalanan Tielman Brothers menjelajah dunia rock di luar negeri juga ikut memberikan pengaruh yang cukup dasyat di blantika musik rock pada saat itu. Penampilan mereka juga cukup memukau publik di Belanda khususnya dan Eropa pada umumnya. Bisa dibilang mereka lah yang pertama kali memulai atraksi panggung yang liar dan atraktif, seperti bermain gitar dan juga double bass sambil melompat atau berguling-gulingan, serta tentunya demo drum.
Meski pengaruhnya besar dalam sejarah rock dunia. Ada suara menyatakan bahwa musisi dunia sekelas Paul McCartney, vocalis dan bassis Beatles, mengagumi aksi panggung Tielman Brother. Ketika Beatles masih menjadi band kafe di Hamburg, Jerman, para personil Beatles menyempatkan diri untuk melihat aksi panggung Tielman Brothers.
Orang-orang pasti kenal Jimi Hendrix, seorang gitaris dengan aksi panggung yang mencengangkan. Tapi hanya sedikit orang Indonesia yang tahu bahwa sebelum pecinta rock tercengang dan berdecak kagum dengan permainan atraktif Jimi Hendrix di tahun 1967, Andy Tielman, sang frontman telah memulai teknik memetik gitar menggunakan gigi atau kaki. Andy Tielman memulainya di tahun 1956, 11 tahun sebelum Jimi Hendrix bereksperimen dengan gitarnya.
Salah satu gitar andalan Andy Tielmans adalah Fender Jazz Master khusus dengan 10 senar. Fender, pabrikan gitar terkemuka di dunia itu, bahkan sengaja mengirim wakilnya ke Jerman untuk merancang gitar untuk Andy Tielmans. Ini sebuah keuntungan dan juga kehormatan bagi Fender karena telah digunakan salah satu pelopor musik rock n roll kelas dunia seperti Andy Tielman. Gitar lain milik Andy Tielman adalah Gibson Les Paul keluaran pertama yang di impor ke Belanda. Gibson juga tidak kalah mendunia dengan Fender.
Masa jaya Tielman Brothers adalah akhir era 1950an hingga awal 1970an. Di tahun 1958 The Tielmans Brothers punya 3 album yang jadi hits di seluruh dunia. Mereka mendahului Beatles yang muncul awal dekade 1960an. Setelahnya, bisa dibilang, Tielman Brothers kalah pamor dengan Beatles. Histeria para gadis lebih tertuju pada Beatles pada dekade 1960an. Betapapun melejitnya Beatles, tetap saja Tielman Brothers tampil lebih liar dan atraktif di atas panggung daripada Beatles.
Di tahun 1976 dikabarkan Tielman Brother bubar. Ada opini menyatakan jika permainan musik mereka terkesan mandek dan tidak ada perkembangan alias kurang eksploratif. Masa rock n roll dianggap telah berlalu. Beatles sendiri dinyatakan bubar di tahun 1970an. Publik musik rock n roll sudah bosan dengan gaya mereka—yang cukup ketinggalan zaman dimasa itu. Tahun 1970an bukan zaman mereka lagi. Dekade 1970, dalam musik rock, adalah era milik Psycodelict rock milik Pink Floyd atau Heavy Blues yang diusung Led Zepellin.
Andy Tielman saja yang masih eksis bermain musik dan tinggal di Negari Belanda. Di usianya yang sudah semakin senja, Andy Tielman kini lebih banyak rekaman untuk lagu-lagu rohani dan sesekali tampil di publik Belanda dengan gitarnya. Tentu penampilannya tak bisa seliar dulu lagi.
Tielman Brothers kurang dikenal publik musik rock Indonesia karena isolasi budaya Indonesia dimasa orde lama. Larangan Sukarno atas masuknya rock n roll tentu menghambat dikenalnya Tielman Brother di Indonesia—yang notabene-nya juga negeri asal mereka. Lagu-lagu Beatles saja bisa dianggap kontrarevolusi pendukung kapitalis dan buat gerah pejabat orde lama. Bagaimana jika Tielman Brothers beraksi diatas panggung dengan jingkrak-jingkrak, Sukarno mungkin bisa kena serangan jantung.
Seperti halnya Beatles yang hanya bisa dinikmati dari siaran radio BBC tiap subuh, hal yang sama mungkin saja dilakukan untuk mendengar lagu-lagu Tielman Brother—itupun jika sedang beruntung karena yang populer dimasa itu adalah Beatles. Nusantara di bawah kaki rezim Sukarno seolah menutup mata bahwa mereka punya anak-anak hebat dari keluarga Tielman yang menguncang sejarah rock n roll dengan Indi-Rock-nya. (Petrik Matanasi)
Diposting oleh Salam Musik Indonesia! di 12.47 2 komentar
Senin, 29 September 2008
Soneta Soepratman untuk Bangsa
Jozef Cleber, Musisi Senior Belanda
Oleh Iswara N Raditya
SEMUA ORANG terdiam saat syahdu biola terdengar membelah kesunyian. Gesekan dawai yang menggetarkan nurani itu memainkan partitur pembuka sebelum setiap mulut di ruangan itu serempak membuka, mengumandangkan syair heroik dengan penuh perasaan. Ada yang menitikkan air mata haru, ada pula yang menyanyikan soneta itu dengan luapan semangat, juga ada yang cuma menggumam sembari memejamkan mata, menghayati bait demi bait yang dilantunkan. Aransemen lagu itu memang dahsyat, bak pantun berantai (seloka) yang dirangkai nyaris persis ketika Empu Walmiki merajut epos legendaris Ramayana.
Seorang muda berkacamata dengan baju dan peci lurik berdiri di deretan paling depan, menghadap para hadirin yang terhanyut oleh syair-syair bernada patriotik itu. Tangan-tangan lihai lelaki duapuluhlima tahun itu memainkan biolanya dengan merdu. Itulah dia, Wage Roedolf Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya, suara kebangsaan yang untuk pertamakalinya diperdengarkan di hadapan publik pada malam penutupan Kongres Pemuda ke-II 1928 di Jakarta. Lagu Indonesia Raya menyempurnakan tiga ikrar para pemuda yang bermufakat untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu: Indonesia.
Beberapa hari kemudian, di halaman utama suratkabar Sin Po, koran Tionghoa yang pro terhadap pemikiran Indonesia, berita tentang Sumpah Pemuda telah tercetak dan beredar. Teks Indonesia Raya pun terpampang dengan jelas. Sebuah tindakan yang cukup berani yang dilakukan media massa pada masa itu. Bahkan, Sin Po adalah satu-satunya koran pada kurun tersebut yang dengan gamblang dan terang-terangan memakai kata “Indonesia” di halaman pertama sebagai rubriknya. Tampaknya, bagi Sin Po, jauh lebih baik membantu Indonesia daripada bertekuk lutut di hadapan Belanda. Keberanian Sin Po tentu saja berpengaruh terhadap pemuda-pemuda Indonesia yang saat itu sedang bergelora untuk meleburkan diri dalam persatuan, termasuk pada diri Soepratman yang bekerja untuk suratkabar itu.
Waktu berhitung mundur sampai pada titik tahun 1903. Hari itu tepat pasaran Wage, pada bulan Maret di tahun ketiga pertama abad ke-20, Soepratman mulai menatap dunia. Bapaknya yang seorang mantan tentara KNIL berpangkat sersan, Jumeno Senen Sastrosuharjo, menambahkan nama anak ketujuhnya itu sesuai dengan hari pasaran lahirnya, inilah Wage Soepratman. Saudara sekandung Wage Soepratman ada enam orang: seorang kakaknya lelaki, yang lain adalah perempuan.
Masih terjadi perdebatan mengenai tanggal dan tempat lahir Soepratman. Versi yang diyakini selama ini adalah ia lahir tanggal 9 Maret 1903 di Jatinegara Jakarta. Bahkan, sejak 2003 pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, setiap tanggal 3 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Sementara itu, Dwi Rahardja, seorang peneliti dan pembuat film dokumenter tentang WR Soepratman, melakukan penelusuran sejarah untuk merekonstruksi fakta yang sebenarnya.
Sang peneliti itu berinisiatif mencari keterangan dari orang-orang terdekat Soepratman, antara lain kakak kandung dan adik tiri Soepratman, Roekijem Soepratijah dan Oerip Soepardjo. Alhasil, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya sepanjang 28 tahun, akhirnya disimpulkan bahwa WR Soepratman lahir pada 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo (Jawa Tengah). Dua bulan kemudian, pada Juni 1903, jabang Wage di dibawa ke Tangsi Meester Cornelis Jatinegara di Batavia, tempat bertugas sang bapak.
Setelah menamatkan sekolah dasarnya di Batavia, pada 1914 Soepratman ikut kakak perempuannya, Roekijem, ke Makasar, Sulawesi Selatan. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik, seorang indo anggota tentara Belanda. Oleh kakak iparnya inilah, nama Wage Soepratman diberi tambahan Rudolf, menjadi Wage Rudolf Soepratman atau yang sering dikenal sebagai WR Soepratman.
Di Makasar, Soepratman masuk ke sebuah sekolah malam untuk memelajari bahasa Belanda, di samping juga sekolah reguler di Europees Lagere School (ELS). Setelah lulus ELS, Soepratman melanjutkan studinya ke Normaal School. Pada usia 20 tahun, ia menjadi pengajar di sekolah untuk pribumi atau Sekolah Angka Dua. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar. Soepratman lantas menuju kota Singkang untuk bekerja di sebuah perusahaan dagang. Namun, tidak lama ia merasa tidak betah lalu minta berhenti dan kembali ke rumah kakaknya di Makasar.
Minat Soepratman pada dunia musik termotivasi dari Roekijem dan suaminya. Kakak perempuannya itu memang menggemari sandiwara dan musik, khususnya memainkan biola. Seringkali Roekijem dan Willem van Eldik serta beberapa teman tentaranya mengadakan pertunjukan teater alakadarnya di mes militer. Lingkungan seni inilah yang membuat Soepratman jadi menyukai musik. Ia mulai banyak membaca buku-buku tentang musik dan berlatih biola di bawah panduan Roekijam dan suaminya.
Di Makasar inilah, pada 1920 Soepratman memimpin grup band dengan nama Black & White, yang bisa dibilang salahsatu perintis aliran jazz pertama di Indonesia, bahkan di dunia karena band Soepratman ini berkurun tak jauh beda dengan masa mulai dikenalnya musik jazz di dunia global. Saban malam minggu, Soepratman beserta band-nya memainkan jazz untuk mengiringi dansa tuan dan nyonya Belanda yang sedang menikmati libur akhir pekan.
Tahun 1924, Soepratman kembali ke Jatinegara Batavia. Pada suatu hari, ia membaca sebuah artikel di majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Soepratman yang sudah semakin kental jiwa nasionalismenya merasa tertantang. Menulis lirik Indonesia Raya dalam bahasa Melayu yang baik tentulah merupakan tantangan besar bagi Soepratman.
Sekalipun pernah menjadi guru dan kemudian bekerja sebagai wartawan, Soepratman lebih lancar berbahasa Belanda daripada bahasa Melayu. Ini adalah kenyataan yang dihadapi semua tokoh pemuda Indonesia ketika itu. Pada Kongres Pemuda ke-II yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928, ternyata tidak semua tokoh pemuda dapat berpidato dalam bahasa Melayu. Mereka terpaksa memakai bahasa Belanda yang secara sukarela diterjemahkan oleh Mohammad Yamin dari perkumpulan pemuda Jong-Sumatera ke dalam bahasa Melayu. Maklum, hanya pemuda Sumatera yang ketika itu fasih berbahasa Melayu. Pada masa itu, bahasa Melayu belum menjadi bahasa terpopuler di Hindia Belanda, karena memang dikondisikan demikian oleh pemerintah kolonial. Bahasa Belandalah yang utama. Tak heran, jika para pemuda Indonesia lebih menguasai bahasa Belanda ketimbang bahasa anak negerinya sendiri.
Soepratman menjawab tantangan itu. Sejak itu, ia mulai belajar menggubah lagu. Dengan segenap pendalaman yang serius, akhirnya ia berhasil merangkai kata-kata yang penuh pujian dan kemuliaan. Dan jadilah lirik lagu Indonesia Raya. Hebatnya lagi, syair Indonesia Raya hanya sekali mengalami revisi pada tahun 1944 oleh sebuah panitia yang memersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia (PPKI), dan hingga kini tidak pernah diubah lagi. Sedangkan aransemennya sempat dipercantik oleh musisi Eropa kenamaan, Jozef Cleber, atas permintaan Presiden Soekarno, pada akhir 1950.
Naluri kebangsaan Soepratman kian menumbuh tatkala ia pindah ke Bandung pada 1924 dan menjadi wartawan suratkabar Kaoem Moeda. Di koran itu, Soepratman ikut memerjuangkan cita-cita bangsa dalam bidang komunikasi massa lewat kemahirannya bermain biola dan mencipta lagu. Soepratman juga pernah bekerja untuk suratkabar Sin Po. Selama menjadi jurnalis, Soepratman juga belajar menulis. Selain lewat nada, rasa tidak senangnya terhadap kolonialisme dituangkannya dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa. Buku yang mengandung nilai-nilai nasionalitas dan menyinggung pemerintahan kolonial Belanda itu akhirnya disita dan dilarang beredar.
Pada 1924 itu pula, lahirlah lagu Indonesia Raya. Lagu inilah yang kelak setelah Indonesia merdeka ditahbiskan sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia. Pemerintah kolonial tentu saja terkaget-kaget mendengar lagu ciptaan Soepratman. Bagaimana mungkin bangsa yang belum merdeka sudah memunyai lagu kebangsaan? Belanda tidak suka melihat pribumi menjadi satu, mereka lebih senang dengan kaum bumiputera yang terpisah-pisah ke dalam beberapa golongan suku. Pemerintah kolonial lebih nyaman melihat adanya suku Jawa, Sunda, Madura, Batak, Ambon, ataupun Minahasa ketimbang mengetahui mereka ini sudah menjadi satu kesatuan bangsa yang utuh yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia.
Lahirnya ikrar Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya dianggap sebagai biang keladi pemersatu kaum pribumi, apalagi dalam lirik lagu itu termuat kata-kata “merdeka”, dan pihak kolonialis sangat alergi dengan itu. Pemerintah semakin murka karena ternyata lagu Indonesia Raya dengan cepat menjadi sangat populer di kalangan kaum intelektual pribumi dan seolah menjadi mantra sakti yang wajib dinyanyikan setiap mereka mengadakan pertemuan. Belanda ketakutan apabila semangat nasionalisme bangsa yang dijajahnya kian mewabah. Oleh karena itu, pemerintah pun memberlakukan aturan yang cukup ketat terhadap lagu Indonesia Raya. Belanda lantas melarang kata “merdeka, merdeka!” yang terdapat dalam refrein lagu Indonesia Raya dan mengancam akan memberikan hukuman berat bila aturan ini dilanggar.
Pemuda juga dilarang menyanyikan lagu itu dengan berdiri atau di tempat umum. Lagu itu juga ditolak sebagai lagu kebangsaan (volkslied) serta diturunkan derajatnya menjadi lagu perkumpulan (clublied). Meskipun demikian, para pemuda tidak gentar. Mereka menyiasatinya dengan kata pengganti, “mulia, mulia!", bukan "merdeka, merdeka!". Para aktivis perjuangan itu tetap saja menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan. Dan mereka tetap menyanyikan lagu itu pada setiap rapat-rapat politik.
Ditelisik dari susunan liriknya, lagu Indonesia Raya adalah suatu bentuk soneta atau sajak empatbelas baris yang terikat dalam satu pikiran dan perasaan yang bulat. Soneta ini terdiri dari satu oktaf (kumpulan delapan nada berturut-turut dengan dua kuatren yang masing-masing bait terdapat empat larik (puisi empat seuntai). Dengan ciri ini, Indonesia Raya sangat pas dinyanyikan dan dimainkan oleh masing-masing enam penyanyi dan enam pemain musik alias satu sekstet. Penggunaan bentuk ini dilihat sebagai avabt grade alias "mendahului zaman", kendati soneta sendiri sudah populer di Eropa.
Indonesia Raya lebih berirama mars (tempo di marcia). Pada partitur aslinya, WR Soepratman menuliskan tanda irama khusus pada ciptaannya itu. Soepratman menulis,” Oepatjara. Djangan terlaloe tjepat!”. Artinya, lagu ini tidak akan bermakna jika dimainkan dalam tempo yang terlalu cepat karena di sinilah letak kekuatan magis lagu Indonesia Raya. Karena pada waktu penciptaannya terkendala oleh keterbatasan teknologi, lagu Indonesia di masa awal, didengar dari kesan iramanya, terasa kurang greget. Hal itu wajar karena fasilitas alat musik untuk memainkannya pun masih sangat sederhana. Maka itu, kepada Josef Cleber, Bung Karno meminta agar aransemen Indonesia Raya dipoles menjadi lebih menggetarkan jiwa. "Harus ada bagian yang liefelijk, yaitu pada bagian sebelum refrain. Refrainnya sendiri harus meledak agar menciptakan klimaks," pinta Bung Karno. Namun, untuk menjaga makna asli dan orisinalitas Indonesia Raya, Bung Karno mewanti-wanti Josep, “"Indonesia Raya itu seperti Bendera Merah Putih. Tidak perlu diberi renda-renda lagi."
Josep Cleber memahami apa yang diinginkan Bung Karno. Bagian liefelijk (mendayu-dayu), yaitu empat baris sebelum refrain, didekati dengan dominasi alat-alat gesek seperti biola dan cello. Sedangkan untuk menciptakan efek gelegar pada refrain, Cleber memasukkan unsur simbal, timpani, dan terompet yang sangat gagah. Alhasil, sempurnalah lagu Indonesia Raya sebagai layaknya lagu kebangsaan negara seperti yang sering diperdengarkan sekarang.
Kehidupan sehari-hari Soepratman jauh dari layak. Ia tidak cukup banyak memunyai pakaian yang pantas dikenakan untuk menghadiri rapat-rapat politik. Pantalonnya yang dibikin dari kain berwarna putih sudah menjadi agak hitam. Di sana-sini terlihat rombeng, kain itu sudah kian menipis karena saking seringnya dipakai. Soepratman tak kuat membeli baju di tempat yang pantas dan lebih memilih berbelanja pakaian bekas di Pasar Senen. Rumahnya pun cuma berupa gubug reyot. Upahnya sebagai wartawan nyaris tak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan yang primer, untuk makan sehari-hari. Ia wajib bekerja keras mencari berita hingga ke pelosok-pelosok Batavia. Tak ada berita berarti tak makan.
Tetapi, di balik segala kemelaratan dan kenestapaannya, WR Soepratman dengan gemilang mampu menciptakan lagu-lagu andalan bagi bangsa. Selain mahakaryanya Indonesia Raya, Soepratman sukses pula membikin lagu-lagu legendaris lainnya, salah satunya adalah lagu Ibu Kita Kartini. Ia juga menjadi aktor utama terciptanya lagu-lagu mars partai-partai pergerakan, seperti Mars-PBI, Mars-KBI, serta Mars-Suryawirawan. Lagu-lagu Soepratman pada saat itu sangat populer di kalangan aktivis pergerakan karena sangat bernafaskan semangat perjuangan. WR Soepratman juga pernah tercatat sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), juga Partai Indonesia Raya (Parindra).
Inilah jasa utama WR Soepratman bagi pembentukan negara Indonesia. Soepratman adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang mampu menggelorakan semangat kebangsaan rakyat lewat musik. Jika lazimnya pejuang pergerakan memantik nasionalisme rakyat melalui pidato, tulisan, citra personal, ataupun aksi-aksi politik, Soepratman berhasil membuka mata dan hati rakyat dengan kejeniusannya mencipta lagu yang mampu menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka harus bergerak menuju kemerdekaan atas nama satu bangsa.
Pada masa pendudukan Jepang yang mulai menjajah Indonesia sejak 1942, lagu Indonesia Raya juga dilarang dinyanyikan. Baru pada 18 Agustus 1945, tujuhbelas tahun setelah diciptakan, Undang-undang Dasar 1945 memutuskan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia. Sayang, Soepratman telah meninggal dunia tepat delapan tahun sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu kebangsaan yang menggelorakan itu, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda.
Kondisi kesehatan Soepratman mulai melemah sehingga ia dibawa ke rumah orangtuanya di Cimahi untuk menjalani perawatan dan istirahat. Tak lama kemudian, Soepratman yang sudah kepayahan diboyong ke Surabaya ke rumah salah seorang kakak perempuannya. Kendati sudah teramat parah, semangat Soepratman untuk terus berjuang tiada pernah redup. Di Surabaya inilah ia bergabung dengan Parindra bersama Dr Soetomo. Maut semakin dekat mengintai Soepratman ketika ia baru saja selesai menciptakan lagu terakhirnya yang bertitel Matahari Terbit. Pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama bersama para pemuda di Jalan Embong Malang-Surabaya. Kemudian Soepratman dipenjarakan di rumah tahanan Kalisosok Surabaya.
Wage Rudolf Soepratman meninggal dunia tanggal 17 Agustus 1938 pada umur tigapuluhlima tahun karena sakit, kemungkinan sakit syaraf atau paru-paru. Soepratman rela mengorbankan dirinya demi bangsa dengan wafat pada usia muda, mendahului para seniornya. Soepratmanlah musisi muda Indonesia yang utama. "Harus saya akui, saya menitikkan air mata ketika membaca bagian yang mengisahkan akhir hayat Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan kita. Saya terharu, betapa orang sebesar dia harus mengakhiri hidupnya dalam kesepian dan kesengsaraan. Hidupnya sungguh tidak seindah lagunya," kenang Bung Karno salut.(Iswara NR, baca juga di: bataviase.wordpress.com)
selengkapnya >>>
Diposting oleh Salam Musik Indonesia! di 13.06 1 komentar
KebesaranFarid Hardja
Oleh Iswara N Raditya
MULANYA ia muncul berciri khas kepala botak dengan rambut lumayan tebal di sisi atas, kanan, dan kirinya. Kacamata yang dikenakannya diusahakan semirip mungkin dengan Elton John yang sedang jaya-jayanya di perjalanan dekade 1960-an itu. Beberapa tahun kemudian, penampilannya berubah, rambutnya kini menggumpal alias kribo. Metamoforsa itu terus berlanjut hingga akhirnya ia identik sebagai penyanyi tambun dengan pakaian seperti jubah besar bermotif warna-warni, persis seperti beragam jenis musik yang dijajalnya: dari rock n roll, jazz, balada, pop, disko, reggae, hingga dangdut.
Musisi bertubuh besar ini memang luarbiasa. Kreativitas dan inovasinya tak pernah mati, produktivitasnya tak perlu diragukan lagi. Ia selalu bisa berkelit dari ketertinggalan zaman, senantiasa bergerak dinamis mengikuti selera penikmat musik tanah air. Si orang besar nan gesit ini nyaris selalu menghasilkan karya saban tahun, sejak album pertamanya rilis pada 1977 hingga pungkasan hidupnya. Sejalan badannya yang tambun, otaknya pun rimbun dijejali banyak ide kreatif untuk tetap bisa bertahan, bahkan meraja. Hebatnya lagi, setiap album yang ia keluarkan selalu menjadi hits dan populer di ranah permusikan Indonesia. Sekali lagi, ia adalah pemusik yang senantiasa berubah, tak canggung untuk selalu bermetamorfosa agar tetap layak jual dan layak dengar. Dialah Farid Hardja yang pernah menjadi raksasa di dalam industri musik Indonesia.
Tahun 1966, kondisi perpolitikan dalam negeri sedang mencium aroma keguncangan. Masa pancaroba kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto lagi hangat-hangatnya berproses. Di sisi lain, terjangan musik Barat kian merangsek ke dalam rusuk ibu pertiwi. The Beatles salahsatu penyebabnya. Nyaris semua anak band di tanah air tergila-gila pada kepopuleran band asal Liverpool ini. Kedigdayaan Soekarno –yang sangat anti imperialisme, termasuk Inggris dengan The Beatles-nya– mulai meluruh pasca tragedi Gerakan 30 September 1965 dan itu membuka pintu lebar-lebar bagi para musisi pribumi untuk memamah habis arus musik global yang kian menyodok naluri kreasi.
Dalam kondisi seperti itu, Farid Hardja keluar dari sarangnya, memulai karirnya sebagai pelaku musik dengan lebih profesional pada kisaran 1966 itu. Di Bandung, Farid bergabung dengan grup De Zieger yang mengusung aliran rock n roll dengan acuan The Rolling Stones. Lama memersiapkan diri untuk berkembang di kota kembang, musisi subur yang kala itu masih berambut kribo tersebut mantap hijrah ke Jakarta. Di ibukota, Farid menjajal kemampuan musikalnya bersama beberapa band rock, sebut saja Cockpit dan Brotherhood pada 1974 serta Brown Bear pada 1975.
Hanya sebentar mengadu nasib di Jakarta, pada 1976 Farid memutuskan pulang kampung ke Sukabumi, tempat di mana ia dilahirkan pada 1950. Namun ia hanya tak diam. Farid bersiasat membentuk kelompok yang dominan memainkan musik rock and roll, R & B, serta country. Nama grup ini bercorak lokal, sederhana dan mudah diingat serta jauh tren band-band lokal kala itu yang getol memakai nama asing. Bani Adam, begitulah Farid memberi nama kelompok barunya itu. “Karena kita semua adalah umat Nabi Adam. Sebagai manusia, kita harus paham asal usul kita,” demikian alasan Farid.
Bersama Bani Adam, karir Farid sebagai pelakon hiburan mulai menggelembung. Tahun 1977, perusahaan rekaman terkemuka Jackson Records & Tapes berkenan mencoba kebolehan Bani Adam dalam bermusik. Meluncurlah album perdana Bani Adam dengan lagu andalan Karmila. Lagu ini segera menjadi primadona dan melesatkan populeritas Farid. Enggan berlama-lama, di tahun yang sama Bani Adam menggelontorkan album kedua dengan judul Special Edition dengan hitsnya Ikan Laut pun Menari di Bawah Lenganmu. Setelah itu laju Farid tak terbendung lagi. Tercatat, dari tahun 1977 hingga 1998, Farid selalu mengeluarkan album –kecuali pada 1989– bahkan ada yang lebih dari satu album di setiap tahunnya. Lagu-lagu Farid banyak yang menjadi hits.
Namun ada ganjalan. Di masa-masa awal peluncuran albumnya, setidaknya sampai album kedua, Farid sangat kentara mencomot karya milik musisi luar negeri. Intro lagu Karmila, misalnya, ternyata begitu mirip dengan intro lagu kepunyaan grup band Boston yang berjudul Peace of Mind. Sedangkan lagu Ikan Laut di album kedua, Farid dituding menyalin-ulang lagu Lyin’Eyes milik The Eagles. Yang tak berubah adalah corak suara Farid yang serak-serak berat dan menggelegar. Jenis vokal Farid termasuk langka, jarang dimiliki penyanyi lokal. Menyadari kondisi yang mengancam geraknya, Farid buru-buru menklarifikasi kekeliruannya. “Saya mengakui kesalahan konyol itu, menjiplak lagu milik orang. Tapi saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” janjinya.Ternyata publik memaafkan Farid dan karirnya terus menggelinding nir tanding.
Seiring penampilan panggungnya yang senantiasa berubah, dalam hal mencipta-karya pun Farid juga tak mau monoton. Ia selalu menggaet musisi berbeda di tiap-tiap albumnya, dari Eddy Manalief, Dodo Zakaria, hingga Lucky Resha. Farid teramat peka dalam membaca selera pasar sehingga musisi yang diajaknya berkolaborasi disesuaikan dengan tren musik pada tiap-tiap tahunnya. Maka tak heran jika lagu-lagu ciptaannya selalu laku di saban waktu. Lagu-lagu seperti Karmila (1977), Bercinta di Udara (1983), Ini Rindu (1992), sampai Partai Sembako (1999), adalah karya abadi Farid yang mewakili era dengan masing-masing selera musiknya.
Selain itu, dilihat dari judulnya, kepekaan Farid terhadap gejala dan fenomena yang sedang dekat dengan masyarakat, teruji mumpuni. Lagu Bercinta di Udara meluncur ketika orang sedang getol berkomunikasi lewat jaringan radio di era 1980-an, atau lagu Partai Sembako sebagai semacam pernyataan sikap Farid atas kondisi perpolitikan yang carut-marut di masa transisi pasca tumbangnya Soeharto dengan menjamurnya munculnya partai-partai politik dan mahalnya harga barang-barang kebutuhan pokok. Masih banyak lagu Farid yang sesuai dengan apa yang sedang terjadi di masa itu, baik lingkup nasional maupun kejadian besar berskala global dunia.
Bermusik bareng maupun solo bukan masalah bagi Farid. Namun yang paling mengagumkan adalah ketika ia membangun duet –dengan penyanyi dari genre apapun– yang dapat dipastikan terlihat perpaduan harmonis antara Farid dan tandemnya. Berpasangan dengan rocker handal seperti Ahmad Albar atau Gito Rollies, atau ketika berduet dengan biduan pop romantis semisal Euis Darliah atau Endang S Taurian, Farid mampu menempatkan dirinya dengan baik. Bahkan saat didampingi pedangdut macam Anis Marsella atau Mery Andani, juga mencoba ranah baru di aliran pop disko dengan sedikit sentuhan reggae dan rap bersama penyanyi pendatang baru Lucky Resha, lagu-lagu Farid masih tetap digemari. Di sinilah letak kelihaian Farid Hardja sebagai sang penghibur sejati.
Tak hanya seni suara, di bidang seni peran pun Farid ternyata cukup ulung. Beberapa film layar lebar sempat dicicipinya, sebut saja film Tante Sundari (1977), Bandit Pungli (1977), Sayang Sayangku Sayang (1978), dan Ini Rindu (1991). Dua judul yang disebut terakhir bisa dikatakan film biografi Farid Hardja di mana lagu-lagu ciptaannya juga menjadi salahsatu penghias utama sinema tersebut. Selain sebagai pemeran utama, Farid juga merangkap selaku penata musiknya.
Farid Hardja menghembuskan nafas penghabisan pada 27 Desember 1998 dalam usia 48 tahun. Hingga di ujung maut pun ternyata sang bintang enerjik ini masih menyisakan tiga album yang belum sempat dirilis namun sudah siap edar. Ketiga album yang memang direncanakan akan diluncurkan pada 1999 tersebut adalah Live Disko (Partai Sembako), Farid & Barbie (Cut Cut Cut), dan Disko Dangdut (Obat Cinta). Seakan tiada kehabisan luapan gagasan, almarhum sebenarnya juga masih memiliki beberapa rencana lainnya, antaralain memproduksi sebuah acara televisi, sejumlah rekaman, dan keinginannya menampilkan karya-karya di atas panggung dalam pagelaran khusus. Memang, pesohor yang satu ini sangat layak diacungi jempol untuk kualitas, produktivitas, dan terutama kreativitasnya di ranah hiburan. (Iswara N Raditya)
Diposting oleh Salam Musik Indonesia! di 12.39 0 komentar
Sabtu, 17 Mei 2008
Reborn of MAKARA
MAKARA berdiri tahun 1980 di lingkungan Fakultas Hukum UI meskipun cikal bakalnya sudah dimulai sejak 1978 ketika tekanan pemerintah Orde Baru terhadap kalangan mahasiswa sangat represif. Saat itulah Andy Julias dan Januar Irawan menciptakan lagu Sangkakala yang menyulut semangat muda untuk menentang tirani dan sampai saat ini lagu tersebut, setelah di revitalisasi, masih dibawakan oleh MAKARA dalam aktifitas panggungnya.
MAKARA memang rebellion. Saat kelompok musik lain dipengaruhi musik mainstream fusion jazz-rock, sweet art rock, dan heavy metal, MAKARA memerkenalkan art-metal, suatu konsep yang dipercayai sebagian orang lebih pintar dari heavy metal namun lebih perkasa dari art rock. Saat orang lain sibuk menjadi cover band MAKARA berani membawakan karya sendiri dalam pertunjukan panggungnya. Saat orang lain menciptakan lagu cinta, MAKARA memilih tema sosial. Saat orang lain terpengaruh Guruh Sukarnoputra membuat lirik sansekerta dalam bahasa cinta, MAKARA membuat lirik lugas dan lantang berani mengkritik lingkungan sekitar. Laron-laron tercipta sebagai suatu overview terhadap kegagalan program transmigrasi pemerintah saat itu. Begitu banyak orang datang ke Jakarta tanpa keahlian dan harus menjadi kaum urban kota yang gagal.
Pada saat awal pendiriannya beberapa personel dari lingkungan kampus UI seperti Ikang Fawzi dan Tonny Wenas (Solid 80) sempat bergabung, termasuk juga Denny TR (guitaris) yang saat itu lebih memilih hengkang bergabung dengan Karimata di era Tahun 1983 an. Sepeninggal mereka Harry Mukti (vocal), Adi Adrian (belakangan dikenal sebagai keyboardist Kla), Agus Anhar (guitar) dan Kadri, vocalist berakar jazz pada awalnya dari lingkungan Fakultas Hukum UI yang sempat menggantikan Harry Mukti sebelum akhirnya Harry Mukti kembali bergabung dan menjadikan MAKARA sebagai band rock pertama di Indonesia saat itu yang mempunyai dua ujung tombak vocalist.
Dengan formasi ini MAKARA menguasai panggung rock Jakarta sampai Malang dengan membawakan karya-karya sendiri selain beberapa karya group dunia seperti Saga, Toto dan lainnya dalam porsi kecil. MAKARA saat itu dikenal sebagai band rock generasi kedua setelah generasi God Bless, SAS, Giant Step dan lain-lain. Pada tahun 1984 MAKARA menjuarai Festival Rock Indonesia dan menampilkan Kadri sebagai vocalist terbaik
Pelan tapi pasti, MAKARA melepas album pertamanya pada 1986 dengan hit Laron-Laron karya cipta Andy Julias dan Januar Irawan yang diproduksi oleh ProSound dengan distribusi Billboard yang merupakan salahsatu dari perusahaan rekaman terbesar saat itu. Dalam rekaman tersebut MAKARA dengan bintang komposer Januar Irawan dan Andy Julias melepas sedikitnya dua lagu untuk corak rock dengan idiom tradisional Indonesia. Lagu "Di Dunia Angan" mengangkat sentuhan musik pentatonis Bali sementara pada lagu "Fabel" memasukkan nuansa musik Minang.
Pengaruh group art-rock dunia seperti Genesis dan Saga sangat kuat di MAKARA. Keberadaan dua vocalist Harry Mukti dan Kadri yang mempunyai karakter suara dan aksi panggung berbeda diharapkan memberikan alternative kepada penggemarnya. Agus Anhar yang sangat kuat dengan gaya heavy metal dan penggemar berat Eddy Van Hallen serta Adi Adrian yang kadangkala banyak menyilangkan nuansa art rock atau techno rock memberikan indikasi betapa luasnya wawasan bermusik MAKARA dalam rekaman Album Pertamanya tersebut. Rekaman MAKARA saat itu dianggap sesuatu yang berani dan sangat diperhitungkan oleh musisi rock lainnya saat itu.
Pada 1987 MAKARA manggung untuk terakhir kalinya di suatu panggung rock di Jogjakarta. Kejenuhan membuat MAKARA berhenti berkarya. Harry Mukti vocalist MAKARA hengkang dan bergabung dengan Krakatau. Adi Adrian membentuk Kla Project. Kadri bergabung dengan Once, Kiki Caloh, Eko Partitur, Hayunaji dan Krisna Prameswara di Brawijaya band dan selanjutnya merintis karir menjadi partner di suatu lawfirm corporate lawyer terkenal. Sedangkan Andy Julias merintis kariernya di dunia radio khusus lagu-lagu classic rock dan progressive dan akhirnya membentuk komunitas Indonesian Progressive Society (IPS), tempat bertukar pikiran orang-orang yang memiliki pikiran progesif dan mempunyai kesamaan persepsi terhadap musik, khususnya progressive rock.
MAKARA aktif kembali sejak tahun 2001. Kebangkitan MAKARA kali ini dimotori oleh Andy Julias, Januar Irawan, Agus Anhar dan Kadri. Sayang Januar Irawan harus non-aktif karena kondisi kesehatannya dan Agus Anhar memilih mengundurkan diri. Andy Julias dan Kadri merekrut personel baru dari lingkungan terdekat yang mempunyai visi yang sama.
Ule (Awan Setiawan), dipercaya menjadi bintang komposer baru, selain Andy Julias dan Kadri. Ule terkhir bergabung dengan Adi Adrian dan Lilo dalam kelompok Trend 85 suatu kelompok techno-rock. Saat ini Ule juga menjadi guitarist dan keyboardist MAKARA. Kegiatan sehari-harinya dilakukan diruang studio musik yang dikelolanya yang memungkinkan Ule memiliki cukup waktu bereksperimen ataupun menciptakan karya musik. Gaya bermain Ule sangat dipengaruhi oleh Band Saga dan Night Ranger.
Fadhil Indra, seorang keyboardist senior yang mempunyai pengalaman panggung internasional dengan kelompok Discus nya. Fadhil dipercaya banyak memberikan sentuhan symphonic dalam musik MAKARA sehingga warna band ini menjadi neo-progressive. Fadhil pernah bergabung dengan Sea Serpent dan Medium Rock. Fadhil pernah belajar di Intitut Kesenian Jakarta dan tak heran dia mempunyai fondasi musik yang kuat. Gaya bermain Fadhil terinspirasi dari para komposer di era Romantic yang kemudian dikembangkan dengan nafas dan gaya classic rock ELP, Rick Wakeman mau pun Patrick Moraz.
Kiki Caloh, seorang in-house lawyer lulusan Fakultas Hukum UI yang dikenal Kadri saat bersama di Brawijaya band, dan aktif bersama Andy dalam kepengurusan di organisasi IPS. Kiki bergabung setelah Januar Irawan harus mengundurkan diri karena kondisi kesehatan. Sama halnya dengan Fadhil, Kiki juga merupakan bassist dari Discus. Selain bermain bass Kiki menggeluti juga kegiatan produksi rekaman. Kiki adalah eksekutif produser dari album Discus yang kedua serta album Nirmana dari Cozy Street Corner dan menjadi music producer dari Nerv (grup pop rock progressive dari Bandung yang dimotori oleh seorang pemain violin wanita). Gaya bermain Kiki sangat dipengaruhi oleh banyak genre musik, dengan didominasi oleh pengaruh rock yang kental di setiap jari-jarinya. Dalam setiap permainannya Kiki sering terinspirasikan oleh grup musik King Crimson, Genesis, Magma, dan Samla Mamma Manna, selain tentunya pengaruh dari musisi top dunia seperti Chris Squire, Jaco Pastorius, dan Tony Levin, yang merupakan "all round" magnet dalam gaya permainan Kiki sehari-hari.
Rifki Rachmat, guitarist berbakat yang sebelumnya pernah bergabung dengan beberapa band rock seperti Cyno(Cynomadeus) dan Pendulum sebelum menggantikan posisi Agus Anhar. Tahun 1994-an Rifki sempat tergabung sebagai gitaris di Harry Mukti band bersama Donny Suhendra. Rifki juga merupakan salah satu pengisi album kompilasi “Gitar Klinik 2” produksi RotorCorp/Hemaswara. Gaya bermain Rifki sangat dipengaruhi oleh George Lynch, Dream Theater, Night Ranger, Van Halen, dan Joe Satriani.
Jimmo, vocalist muda berbakat yang pada awalnya dijalur pop dan rock alternative. Jimmo pernah berduet dengan Melly untuk single hit mereka “Pujaan ku” yang menjadi theme song film Eiffel I’m in Love. Jimmo juga aktif membuat lagu untuk Melly. Jimmo bukan kompromi tapi strategi. Jimmo direkrut karena karakter suaranya yang expressive dan diharapkan dapat mengisi low frequency mendampingi Kadri yang bersuara tenor membentuk konsep duo vocalist yang solid. MAKARA percaya rekruitmen Jimmo akan meluaskan pangsa pasar musik MAKARA di kalangan muda.
Dengan demikian formasi terakhir MAKARA adalah Andy Julias (Drummer), Kadri (Vocalist), Ule (Keyboardist dan Guitarist), Fadhil Indra (Keyboardist), Kiki Caloh (Bassist), Rifki Rahmat (Guitarist), dan Jimmo (Vocalist). Dilink dari Indonesian Progressive Society
Diposting oleh Salam Musik Indonesia! di 11.47 4 komentar
Kamis, 10 April 2008
Gito Rollies, Musisi Tua dan Tuhannya
"Semua yang ada padaMu ohh...
Membuat diriku tiada berdaya
Hanyalah bagimu untukMu Tuhanku
Seluruh hidup dan cintaku"
(Gito Rollies, Cinta yang Tulus)
Oleh Petrik Matanasi
BILA MENDENGAR lagu itu versi sebelum dirilis Gito Rollies bersama Gigi, liriknya pastilah berbeda. Tanya saja pada orang-orang yang hidup sepanjang dekade 1970an yang mengikuti perkembangan lagu Indonesia. Perubahan lirik itu menyiratkan sebuah pencerahan yang dialami Gito Rollies diakhir usianya. Gito merubah lirik lagu itu diakhir usianya, beberapa bulan sebelum berpulangnya Gito pada 28 Februari 2008 kemarin.Banyak musisi yang hidup relijius diusia tua. Sebutlah beberapa personil AKA—yang dulu digawangi Ucok Harahap—yang kehidupan masa tuanya merasa lebih tentram dibanding ketika mereka masih muda dan jaya dulu. Mereka kembali pada Tuhan. Kini mereka menjadi orang relijius.
Gito Rollies pun merasa masa mudanya cukup kelam. Masa dimana Gito berkarya, berjaya dan lakukan banyak kegilaan. Mungkin juga, Gito Rollies berpikir, dirinya jauh dari Tuhan di kala muda itu. Atas dosa-dosa masa lalu, yang Gito Rollies rasakan, maka masa tuanya diisi dengan pertobatan.
Hari kelulusan SMA, Gito melakukan hal gila. Dia merasa tidak akan lulus SMA karena kebadungannya. Setelah lihat papan pengumuman, dia dinyatakan lulus. Gito pun senang. Dia bugil keliling kota Bandung untuk merayakan kebebasan dari sekolah yang mungkin menyiksa dan membosankan itu. Kegilaannya semakin menjadi ketika dirinya menjadi bagian dari sejarah musik Indonesia bersama band legendarisnya, The Rollies. Keanggotaan yang membuat dirinya memakai nama Rollies di belakang nama panggilannya. Nama asli Gito adalah Bangun Sugito Tukiman, kelahiran Biak 1 November 1947, dari namanya bisa ditebak dia adalah keturunan Jawa. Dia habiskan masa mudanya jauh dari tanah kelahirannya.
Bersama The Rollies, yang pendiriannya disponsori orang tua Deddy Stanzah, Gito melanglang buana keluar negeri. Mereka pernah tampil dan rekaman di Singapura. The Rollies memiliki ciri khas yang rasanya tidak dimiliki band Indonesia lainnya pada masa itu, mungkin juga masa sekarang. Mereka mirip Chicago. Musik mereka yang kerap memakai brass section (alat tiup), membuat mereka mirip Brassband. Jago Trombon Indonesia, Benny Likumahua, pernah mencurahkan hidupnya di band yang katanya tergolong kaya di zamannya ini. Band dengan alat tiup, orang pasti akan berasosiasi pada musik ska, seperti yang dimainkan Tipe X sekarang ini. Tapi ini The Rollies, mereka tergolong sangar di zamannya.
Gito terlibat dalam film “Janji Joni” dan “Ada Apa Dengan Cinta” di masa kebangkitan kembali film Indonesia. Gito tidak meninggalkan dunia seni di akhir hidupnya. Tidak sekedar mengganjal perut, tapi juga berusaha memberi sesutu dalam perkembangan budaya populer Indonesia. Dia masih jalani hidup sebagai seniman dimasa dia merasa lebih dekat dengan Tuhan. Gito Rollies boleh menyesali apa yang dia perbuat dimasa mudanya, yang mungkin dianggapnya buruk. Namun tidak sepenuhnya yang dilakukan Gito buruk. Bersama The Rollies, Gito Rollies ikut memberi warna dalam musik pop Indonesia. Kini, musisi bersuara serak itu pergi meninggalkan dunia dengan karya-karyanya. Orang akan selalu ingat suara serak Gito karena ‘yang terekam tak pernah mati’. Gito boleh merasa pernah jauhdari Tuhannya, namun Gito tidak menyiakan apa yang diberikan Tuhannya. Dia Berkarya dengan suara dan bakat musiknya. Kedekatannya pada Tuhan telah terlihat dalam lirik lagu diatas.
Aku menulis ini untuk menghormati Gito Rollies, pada pagi 29 Februari 2008. Kemarin Gito Rollies wafat. Aku harus pulang besok. Mungkin menengok
piringan hitam dimana Gito Rollies berkesenian. Mereka yang berkarya memang tak pernah mati. Ini tulisan kedua di blog setelah hampir sebulan aku mandeg menulis. (Petrik Matanasi)
selengkapnya >>>
Diposting oleh Salam Musik Indonesia! di 08.47 1 komentar
Label: Gito Rollies
Kamis, 17 Januari 2008
Bang Ben Ngerock!
Oleh
Petrik Matanasi
ANAK MUDA jaman sekarang mungkin hanya mengenal Benyamin Sueb sebagai pelawak dari film-film komedinya produksi dekade 1970-an, yang sering diputar televisi. Banyak yang kurang mengenal sebagai musisi rock pada jamannya. Orang lebih mengenal Benyamin sebagai musisi tradisional dengan gambang kromong Betawi-nya.
Benyamin memang menjadi legenda dunia hiburan dan panggung komedi Indonesia. Dia juga telah menjadi inspirasi dan panutan, bagi seniman muda Indonesia. Kiprah Benyamin sebagai musisi rock n’ roll pada paruh kedua dekade 1960-an seperti terlupakan, padahal lagu Kompor Mledug terbilang dahsyat sebelum God Bless dan raksasa rock tanahair lainnya muncul dalam kancah musik rock Indonesia.
Wajah Benyamin kerap hiasi layar kaca Indonesia tahun 1970-an. Film Benyamin umumnya adalah genre komedi. Film Benyamin mendapat tanggapan positif publik. Film Intan Berduri yang dibintanginya mendapatkan Piala Citra pada 1978. Benyamin juga pernah memerankan tokoh Doel dalam Si Doel Anak Modern bersama rocker Ahmad Albar.
Benyamin juga pernah merintis karir sebagai musisi sebelum terjun ke dunia film pada 1970-an. Benyamin pernah memainkan gambang kromong hingga rock n’ roll. Di dunia musik Benyamin cukup cemerlang. Sebagai musisi rock Benyamin bisa dibilang sukses. Selama Orde Lama berkuasa, tidak akan ada Beatles, Bee Gees, Everly Brother dan musik lainnya, rock dilarang pada dekade 1960-an. Namun, Benyamin seolah melawan meanstream politik yang ada. Soekarno melarang lagu barat yang 'Ngak Ngik Ngok' seperti rock n roll. Orang Orde Lama bilang musik rock adalah musik setan. Seperti juga Koes Bersaudara, Benyamin juga pernah merasakan bui karena ideologi musiknya yang nekad membawakan lagu barat.
Lagu rock n roll paling sukses dipasaran yang dibawakan Benyamin adalah Kompor Mledug. Lagu ini keluar dipasaran setelah musim anti rock n roll baru saja berlalu. Aransemen lagu ini bisa dibilang ngerock pada tahun perilisannya, dengan iringan organ dan sound drum yang unik. Mungkin saja arransemen lagu ini tergolong mutakhir pada zamannya. Tentu saja aransemen lagu ini dipengaruhi langsung musik rock n roll dari luar. Lagu ini seperti judulnya juga mledug di pasaran.
Lagu Kompor Mledug memiliki persamaan, walau tidak 100%, dengan lagu-lagu rock n roll yang diusung Naif selama beberapa tahun terakhir ini. Naif bahkan pernah bermimpi untuk berkolaborasi dengan Benyamin, namun Benyamin keburu meninggal. Mereka memiliki kecocokan, 'retro banget'.
Benyamin Sueb lahir di Kemayoran, Jakarta, 5 Maret 1939. Bang Ben memang sosok panutan. Kesuksesan di dunia musik dan film membuat namanya semakin melambung. Benyamin telah menghasilkan 75 album musik dan 53 judul film yang ia bintangi adalah bukti keseriusannya di bidang hiburan tersebut. Perhatian Benyamin pada gambang kromong, secara tidak langsung, mentasbihkannya sebagai maestro kesenian Betawi. Benyamin meninggal dunia pada 5 September 1995 akibat serangan jantung. (PM, lihat juga di: Istori van Nusantara.blogspot.com)
Diposting oleh Salam Musik Indonesia! di 02.33 0 komentar
Label: Petrik Matanasi
Sabtu, 12 Januari 2008
About A (Bad) Boy (1)
Oleh Iswara N Raditya
“Aku sangat menginginkan seorang bapak, tapi malah mendapatkan seorang bapak. Aku benci ayah, aku benci ibu!”
Kurt Donald Cobain
MULANYA HANYA seorang bocah pemimpi yang senang membual, sesosok pemuda tampan hasil cipta keluarga brokenhome. Sebelum perjalanan abad memasuki dekade 1990, iabukanlah apa atau siapa, bahkan nyaris tak dikenal sebagai sosok yang tak lama lagi akan membuat seisi semesta menoleh padanya. Kendati sudah mulai merambah dunia permusikan, kerja sehari-harinya cuma lontang-lantung, rutinitasnya liar, ngeband dan manggung sana-sini nir bayar, berbuat onar, hidup tak teratur, tiada berumah, serta gemar merepotkan orang lain! Tapi semua berubah ketika sebuah pembuktian yang dilakukannya berhasil membikin marcapada melongo, salut dengan populeritasnya –yang fenomenal sekaligus kontroversial– sekonyong-konyong menonjok langit, menghujam bumi, menggetarkan gempita musik Amerika sekalian internasional. Inilah kisah tentang seorang anak (nakal)!
Mencipta Lagu Sedari Balita
(Kimberly, Adik Perempuan Kurt Cobain)
Kurt Donald Cobain dilahirkan pada 20 Februari 1967 di Aberdeen, Washington, AmerikaSerikat, dari pasangan Wendy dan Donald Cobain . Wendy adalah sosok ibu rumahtangga yang cukup ideal bagi Kurt dan adiknya yang lahir ketika Kurt berumur tiga tahun, Kimberly Cobain. Sedangkan Don, yang bekerja sebagai mekanik di sebuah bengkel, terkesan lebih kaku dengan tampilan kacamata klasik dan rambut klimisnya.
Kehidupan Kurt sedari bayi berjalan sangat wajar, bahkan terhitung bahagia dengan limpahan kasih sayang yang diberikan segenap keluarga besarnya. Menginjak usia dua tahun, secara fantastis Kurt kecil sudah memperlihatkan minatnya terhadap musik. Keluarga ibunda Kurt memang keluarga musisi: Chuck, kakak Wendy, tergabung dalam band Beachcombers; Mari, adik Wendy atau bibi Kurt, adalah pemain gitar; dan Delbert, paman Wendy, pernah berkarir sebagai penyanyi tenor Irlandia, bahkan sempat ikut bermain dalam film The King of Jazz.
Keluarga itu teramat takjub ketika Kurt kecil dengan lancar menyanyikan lagu Hey Jude milik The Beatles, Motorcycle Song dari Arlo Guthire, serta lagu tema film televisi The Monkees. Bahkan, sebelum umurnya genap 5 tahun, Kurt sudah mengarang lagu. “Aku begitu kagum, seharusnya kurekam dengan tape recorder. Mungkin itu akan menjadi lagu pertamanya,” kenang Mari saat mendengar keponakannya mencipta sepenggal lagu tentang perjalanan mereka seusai bermain.
Bakat seni Kurt sepertinya didukung dengan daya imajinasinya yang kuat. Ketika berumur 3 tahun, ia memiliki seorang teman khayalan bernama Boddah. Kurt sangat menyayangi kawan imajinernya itu. Dalam suatu kejadian, kala itu Kurt sedang bermain-main dengan tape milik bibinya, terdengar efek bunyi menggema. Kurt terkejut seraya berseru, “Suara itu bicara padaku? Boddah? Boddah?!”
Setelah beberapa waktu, orangtua Kurt menjadi cemas atas keterikatan puteranya terhadap sahabat yang tak berwujud itu. Sebagai tindakan antispasi, mereka mengatakan kepada Kurt bahwa Boddah sudah tidak ada bersamanya lagi, ia telah dibawa seorang pamannya yang bertugas ke Vietnam. Namun sesungguhnya Kurt tidak benar-benar memercayai kata-kata orangtuanya itu.
Naluri Liar sang Seniman Belia
Pada September 1972, Kurt memulai usia sekolahnya dengan masuk Taman Kanak-kanak Robert Gray yang berjarak tiga blok dari rumahnya. Bidang yang paling digemari dan dikuasainya adalah kelas seni, kala itu kemampuan artistiknya sudah luarbiasa: apa yang digambar Kurt seperti benar-benar tampak nyata. Tony Hirschman, kawan sekelas Kurt, berkata, “Dia bisa menggambar apa saja. Pernah kami melihat foto-foto werewolf (manusia serigala), kemudian Kurt menggambar seekor werewolf yang sangat mirip dengan fotonya.” Pada hari-hari libur atau hari ulang tahunnya, Kurt sering dihadiahi peralatan menggambar. Tak heran jika kamar Kurt lebih mirip studio lukis daripada sebuah ruang tidur seorang bocah berumur lima tahun.
Darah seni yang mengalir dari diri Kurt didapat dari neneknya, Iris Cobain. Iris sendiri adalah kolektor piringan hitam tentang memorabilia ilustrator/pelukis legendaris Norman Rockwell. Sang nenek sering mengajak Kurt melakukan kegiatan favoritnya, yakni mengukir sketsa gambar Rockwell dengan tusuk gigi pada jamur yang baru saja dipetik. Sedangkan sang kakek, Leland Cobain, tidak begitu berminat terhadap seni. Meskipun begitu, ia sering mengajari Kurt cara membuat kerajinan dari kayu.
Bakat Kurt menjalar ke ranah musik. Kurt, misalnya, bisa memainkan piano, mengiramakan nada-nada sederhana yang baru saja masuk ke kupingnya. Ketika ibunya membelikan satu set drum mainan bergambar Mickey Mouse, Kurt kecil tak kenal lelah menabuh drum itu sekuat tenaga. Kurt juga senang menenteng gitar milik bibinya, Mari, dan akan memetiknya sambil mengarang-ngarang lagu. Kaset pertama yang dibeli Kurt adalah album Terry Jacks dengan singlenya yang terkenal, Seasons in The Sun. Selain itu, Kurt juga sangat senang melihat-lihat koleksi album musik milik bibi dan pamannya.
Kebahagiaan masa kecil Kurt terancam punah ketika mulai sering terjadi pertengkaran antara ayah dan ibunya, biasanya karena masalah finansial. Akhirnya, hal yang paling ditakuti Kurt datang juga. Pada 9 Juli 1976, pengadilan memutuskan perkara perceraian orangtuanya, dan hak asuh atas Kurt serta adiknya, Kim, jatuh kepada sang ibu, Wendy. Kelak, saat ayahnya, juga ibunya, masing-masing telah menikah lagi, Kurt benar-benar dalam kondisi limbung. “Aku benci ayah, aku benci ibu!” teriaknya. Kurt, yang berusia 11 tahun saat itu, mulai merasa bahwa orangtuanya yang pernah menjadi dewa-dewa bagi masa kecilnya, sekarang berubah menjadi tokoh-tokoh mati, pujaan palsu, dan tidak bisa dipercaya. Mereka meninggalkan trauma yang teramat dalam pada diri Kurt, bahkan hingga ia tumbuh dewasa.
Kembali ke sejarah bermusik Kurt. Sejak SD kelas 5, Kurt sudah mengambil kelas musik di sekolahnya. Dan ketika memasuki SMP Montesano pada September 1979, ia pun segera bergabung dengan grup drum band di almamaternya, dan termasuk pemain inti meski permainannya tidak begitu istimewa.
Kurt juga masih mempertahankan gairah melukisnya yang sudah ia punyai semenjak kecil, dan ia menjadi jagoan di kelas seni di sekolahnya. Dalam suatu kesempatan, Kurt diberi mandat untuk menggambar sampul depan majalah sekolahnya, Puppy Press, edisi hari Halloween. Kurt sangat bersemangat, ia melukis seekor anjing bulldog, lambang sekolahnya, sedang menguras isi sebuah kantong permen di kandangnya. Naluri liarnya sudah kentara kala itu dengan menyisipkan sekaleng bir yang agak tersembunyi di tumpukan permen.
Selain itu, Kurt juga lagi berhasrat mencipta gambar-gambar porno. Pernah suatu kali Kurt menggambar vagina, kendati ketika itu Kurt belum pernah berhubungan –bahkan hanya sekadar berpacaran– dengan perempuan secara intim. “Waktu itu, Kurt belum pernah melihat vagina secara langsung,” cerita Bill Burghadt, kawan sekelas Kurt. Keahlian Kurt lainnya, lanjut Bill, adalah menggambar setan, sosok yang selalu dia gambar dalam bukunya di setiap pelajaran.
Nalurinya semakin berkembang ketika usianya menginjak angka 14 tahun. Kala itu tahun 1981, Kurt mulai mencoba-coba membuat film-film pendek sendiri dengan kamera milik ayahnya. Suatu kali, ia pernah membikin film yang mengisahkan adanya sekelompok alien yang mendaratkan pesawatnya di halaman depan rumah kelurga Cobain.
Lain waktu, Kurt membuat film lagi, kali ini lebih sadis. Dalam film yang diberinya judul Kurt Commits Bloody Suicide itu, Kurt berakting memotong nadi pergelangan tangannya sendiridengan potongan kaleng minuman. Bersama seorang temannya yang bertugas mengambilgambar, film itu dilengkapi efek khusus, kendati alakadarnya, yakni darah buatan, dan Kurt memainkan sendiri adegan kematiannya secara dramatis! (Bersambung)
selengkapnya >>>
Diposting oleh Salam Musik Indonesia! di 13.54 0 komentar
Label: Iswara NR