Senin, 29 September 2008

KebesaranFarid Hardja


Oleh Iswara N Raditya

MULANYA ia muncul berciri khas kepala botak dengan rambut lumayan tebal di sisi atas, kanan, dan kirinya. Kacamata yang dikenakannya diusahakan semirip mungkin dengan Elton John yang sedang jaya-jayanya di perjalanan dekade 1960-an itu. Beberapa tahun kemudian, penampilannya berubah, rambutnya kini menggumpal alias kribo. Metamoforsa itu terus berlanjut hingga akhirnya ia identik sebagai penyanyi tambun dengan pakaian seperti jubah besar bermotif warna-warni, persis seperti beragam jenis musik yang dijajalnya: dari rock n roll, jazz, balada, pop, disko, reggae, hingga dangdut.

Musisi bertubuh besar ini memang luarbiasa. Kreativitas dan inovasinya tak pernah mati, produktivitasnya tak perlu diragukan lagi. Ia selalu bisa berkelit dari ketertinggalan zaman, senantiasa bergerak dinamis mengikuti selera penikmat musik tanah air. Si orang besar nan gesit ini nyaris selalu menghasilkan karya saban tahun, sejak album pertamanya rilis pada 1977 hingga pungkasan hidupnya. Sejalan badannya yang tambun, otaknya pun rimbun dijejali banyak ide kreatif untuk tetap bisa bertahan, bahkan meraja. Hebatnya lagi, setiap album yang ia keluarkan selalu menjadi hits dan populer di ranah permusikan Indonesia. Sekali lagi, ia adalah pemusik yang senantiasa berubah, tak canggung untuk selalu bermetamorfosa agar tetap layak jual dan layak dengar. Dialah Farid Hardja yang pernah menjadi raksasa di dalam industri musik Indonesia.

Tahun 1966, kondisi perpolitikan dalam negeri sedang mencium aroma keguncangan. Masa pancaroba kekuasaan
dari Soekarno ke Soeharto lagi hangat-hangatnya berproses. Di sisi lain, terjangan musik Barat kian merangsek ke dalam rusuk ibu pertiwi. The Beatles salahsatu penyebabnya. Nyaris semua anak band di tanah air tergila-gila pada kepopuleran band asal Liverpool ini. Kedigdayaan Soekarno –yang sangat anti imperialisme, termasuk Inggris dengan The Beatles-nya– mulai meluruh pasca tragedi Gerakan 30 September 1965 dan itu membuka pintu lebar-lebar bagi para musisi pribumi untuk memamah habis arus musik global yang kian menyodok naluri kreasi.

Dalam kondisi seperti itu, Farid Hardja keluar dari sarangnya, memulai karirnya sebagai pelaku musik dengan lebih profesional pada kisaran 1966 itu. Di Bandung, Farid bergabung dengan grup De Zieger yang mengusung aliran rock n roll dengan acuan The Rolling Stones. Lama memersiapkan diri untuk berkembang di kota kembang, musisi subur yang kala itu masih berambut kribo tersebut mantap hijrah ke Jakarta. Di ibukota, Farid menjajal kemampuan musikalnya bersama beberapa band rock, sebut saja Cockpit dan Brotherhood pada 1974 serta Brown Bear pada 1975.

Hanya sebentar mengadu nasib di Jakarta, pada 1976 Farid memutuskan pulang kampung ke Sukabumi, tempat di mana ia dilahirkan pada 1950. Namun ia hanya tak diam. Farid bersiasat membentuk kelompok yang dominan memainkan musik rock and roll, R & B, serta country. Nama grup ini bercorak lokal, sederhana dan mudah diingat serta jauh tren band-band lokal kala itu yang getol memakai nama asing. Bani Adam, begitulah Farid memberi nama kelompok barunya itu. “Karena kita semua adalah umat Nabi Adam. Sebagai manusia, kita harus paham asal usul kita,” demikian alasan Farid.

Bersama Bani Adam, karir Farid sebagai pelakon hiburan mulai menggelembung. Tahun 1977, perusahaan rekaman terkemuka Jackson Records & Tapes berkenan mencoba kebolehan Bani Adam dalam bermusik. Meluncurlah album perdana Bani Adam dengan lagu andalan Karmila. Lagu ini segera menjadi primadona dan melesatkan populeritas Farid. Enggan berlama-lama, di tahun yang sama Bani Adam menggelontorkan album kedua dengan judul Special Edition dengan hitsnya Ikan Laut pun Menari di Bawah Lenganmu. Setelah itu laju Farid tak terbendung lagi. Tercatat, dari tahun 1977 hingga 1998, Farid selalu mengeluarkan album –kecuali pada 1989– bahkan ada yang lebih dari satu album di setiap tahunnya. Lagu-lagu Farid banyak yang menjadi hits.

Namun ada ganjalan. Di masa-masa awal peluncuran albumnya, setidaknya sampai album kedua, Farid sangat kentara mencomot karya milik musisi luar negeri. Intro lagu Karmila, misalnya, ternyata begitu mirip dengan intro lagu kepunyaan grup band Boston yang berjudul Peace of Mind. Sedangkan lagu Ikan Laut di album kedua, Farid dituding menyalin-ulang lagu Lyin’Eyes milik The Eagles. Yang tak berubah adalah corak suara Farid yang serak-serak berat dan menggelegar. Jenis vokal Farid termasuk langka, jarang dimiliki penyanyi lokal. Menyadari kondisi yang mengancam geraknya, Farid buru-buru menklarifikasi kekeliruannya. “Saya mengakui kesalahan konyol itu, menjiplak lagu milik orang. Tapi saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” janjinya.Ternyata publik memaafkan Farid dan karirnya terus menggelinding nir tanding.

Seiring penampilan panggungnya yang senantiasa berubah, dalam hal mencipta-karya pun Farid juga tak mau monoton. Ia selalu menggaet musisi berbeda di tiap-tiap albumnya, dari Eddy Manalief, Dodo Zakaria, hingga Lucky Resha. Farid teramat peka dalam membaca selera pasar sehingga musisi yang diajaknya berkolaborasi disesuaikan dengan tren musik pada tiap-tiap tahunnya. Maka tak heran jika lagu-lagu ciptaannya selalu laku di saban waktu. Lagu-lagu seperti Karmila (1977), Bercinta di Udara (1983), Ini Rindu (1992), sampai Partai Sembako (1999), adalah karya abadi Farid yang mewakili era dengan masing-masing selera musiknya.

Selain itu, dilihat dari judulnya, kepekaan Farid terhadap gejala dan fenomena yang sedang dekat dengan masyarakat, teruji mumpuni. Lagu Bercinta di Udara meluncur ketika orang sedang getol berkomunikasi lewat jaringan radio di era 1980-an, atau lagu Partai Sembako sebagai semacam pernyataan sikap Farid atas kondisi perpolitikan yang carut-marut di masa transisi pasca tumbangnya Soeharto dengan menjamurnya munculnya partai-partai politik dan mahalnya harga barang-barang kebutuhan pokok. Masih banyak lagu Farid yang sesuai dengan apa yang sedang terjadi di masa itu, baik lingkup nasional maupun kejadian besar berskala global dunia.

Bermusik bareng maupun solo bukan masalah bagi Farid. Namun yang paling mengagumkan adalah ketika ia membangun duet –dengan penyanyi dari genre apapun– yang dapat dipastikan terlihat perpaduan harmonis antara Farid dan tandemnya. Berpasangan dengan rocker handal seperti Ahmad Albar atau Gito Rollies, atau ketika berduet dengan biduan pop romantis semisal Euis Darliah atau Endang S Taurian, Farid mampu menempatkan dirinya dengan baik. Bahkan saat didampingi pedangdut macam Anis Marsella atau Mery Andani, juga mencoba ranah baru di aliran pop disko dengan sedikit sentuhan reggae dan rap bersama penyanyi pendatang baru Lucky Resha, lagu-lagu Farid masih tetap digemari. Di sinilah letak kelihaian Farid Hardja sebagai sang penghibur sejati.

Tak hanya seni suara, di bidang seni peran pun Farid ternyata cukup ulung. Beberapa film layar lebar sempat dicicipinya, sebut saja film Tante Sundari (1977), Bandit Pungli (1977), Sayang Sayangku Sayang (1978), dan Ini Rindu (1991). Dua judul yang disebut terakhir bisa dikatakan film biografi Farid Hardja di mana lagu-lagu ciptaannya juga menjadi salahsatu penghias utama sinema tersebut. Selain sebagai pemeran utama, Farid juga merangkap selaku penata musiknya.

Farid Hardja menghembuskan nafas penghabisan pada 27 Desember 1998 dalam usia 48 tahun. Hingga di ujung maut pun ternyata sang bintang enerjik ini masih menyisakan tiga album yang belum sempat dirilis namun sudah siap edar. Ketiga album yang memang direncanakan akan diluncurkan pada 1999 tersebut adalah Live Disko (Partai Sembako), Farid & Barbie (Cut Cut Cut), dan Disko Dangdut (Obat Cinta). Seakan tiada kehabisan luapan gagasan, almarhum sebenarnya juga masih memiliki beberapa rencana lainnya, antaralain memproduksi sebuah acara televisi, sejumlah rekaman, dan keinginannya menampilkan karya-karya di atas panggung dalam pagelaran khusus. Memang, pesohor yang satu ini sangat layak diacungi jempol untuk kualitas, produktivitas, dan terutama kreativitasnya di ranah hiburan. (Iswara N Raditya)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar