"Semua yang ada padaMu ohh...
Membuat diriku tiada berdaya
Hanyalah bagimu untukMu Tuhanku
Seluruh hidup dan cintaku"
(Gito Rollies, Cinta yang Tulus)
Oleh Petrik Matanasi
BILA MENDENGAR lagu itu versi sebelum dirilis Gito Rollies bersama Gigi, liriknya pastilah berbeda. Tanya saja pada orang-orang yang hidup sepanjang dekade 1970an yang mengikuti perkembangan lagu Indonesia. Perubahan lirik itu menyiratkan sebuah pencerahan yang dialami Gito Rollies diakhir usianya. Gito merubah lirik lagu itu diakhir usianya, beberapa bulan sebelum berpulangnya Gito pada 28 Februari 2008 kemarin.Banyak musisi yang hidup relijius diusia tua. Sebutlah beberapa personil AKA—yang dulu digawangi Ucok Harahap—yang kehidupan masa tuanya merasa lebih tentram dibanding ketika mereka masih muda dan jaya dulu. Mereka kembali pada Tuhan. Kini mereka menjadi orang relijius.
Gito Rollies pun merasa masa mudanya cukup kelam. Masa dimana Gito berkarya, berjaya dan lakukan banyak kegilaan. Mungkin juga, Gito Rollies berpikir, dirinya jauh dari Tuhan di kala muda itu. Atas dosa-dosa masa lalu, yang Gito Rollies rasakan, maka masa tuanya diisi dengan pertobatan.
Hari kelulusan SMA, Gito melakukan hal gila. Dia merasa tidak akan lulus SMA karena kebadungannya. Setelah lihat papan pengumuman, dia dinyatakan lulus. Gito pun senang. Dia bugil keliling kota Bandung untuk merayakan kebebasan dari sekolah yang mungkin menyiksa dan membosankan itu. Kegilaannya semakin menjadi ketika dirinya menjadi bagian dari sejarah musik Indonesia bersama band legendarisnya, The Rollies. Keanggotaan yang membuat dirinya memakai nama Rollies di belakang nama panggilannya. Nama asli Gito adalah Bangun Sugito Tukiman, kelahiran Biak 1 November 1947, dari namanya bisa ditebak dia adalah keturunan Jawa. Dia habiskan masa mudanya jauh dari tanah kelahirannya.
Bersama The Rollies, yang pendiriannya disponsori orang tua Deddy Stanzah, Gito melanglang buana keluar negeri. Mereka pernah tampil dan rekaman di Singapura. The Rollies memiliki ciri khas yang rasanya tidak dimiliki band Indonesia lainnya pada masa itu, mungkin juga masa sekarang. Mereka mirip Chicago. Musik mereka yang kerap memakai brass section (alat tiup), membuat mereka mirip Brassband. Jago Trombon Indonesia, Benny Likumahua, pernah mencurahkan hidupnya di band yang katanya tergolong kaya di zamannya ini. Band dengan alat tiup, orang pasti akan berasosiasi pada musik ska, seperti yang dimainkan Tipe X sekarang ini. Tapi ini The Rollies, mereka tergolong sangar di zamannya.
Gito terlibat dalam film “Janji Joni” dan “Ada Apa Dengan Cinta” di masa kebangkitan kembali film Indonesia. Gito tidak meninggalkan dunia seni di akhir hidupnya. Tidak sekedar mengganjal perut, tapi juga berusaha memberi sesutu dalam perkembangan budaya populer Indonesia. Dia masih jalani hidup sebagai seniman dimasa dia merasa lebih dekat dengan Tuhan. Gito Rollies boleh menyesali apa yang dia perbuat dimasa mudanya, yang mungkin dianggapnya buruk. Namun tidak sepenuhnya yang dilakukan Gito buruk. Bersama The Rollies, Gito Rollies ikut memberi warna dalam musik pop Indonesia. Kini, musisi bersuara serak itu pergi meninggalkan dunia dengan karya-karyanya. Orang akan selalu ingat suara serak Gito karena ‘yang terekam tak pernah mati’. Gito boleh merasa pernah jauhdari Tuhannya, namun Gito tidak menyiakan apa yang diberikan Tuhannya. Dia Berkarya dengan suara dan bakat musiknya. Kedekatannya pada Tuhan telah terlihat dalam lirik lagu diatas.
Aku menulis ini untuk menghormati Gito Rollies, pada pagi 29 Februari 2008. Kemarin Gito Rollies wafat. Aku harus pulang besok. Mungkin menengok
piringan hitam dimana Gito Rollies berkesenian. Mereka yang berkarya memang tak pernah mati. Ini tulisan kedua di blog setelah hampir sebulan aku mandeg menulis. (Petrik Matanasi)
Save The Best For Last, Kang Gito...
BalasHapus