Rabu, 28 Desember 2011

Keenan Nasution, Tak Sekadar di Batas Angan


Masih ingat Keenan Nasution? Musisi sejati ini pernah merajai ranah musik pribumi pada dekade 1970-an hingga akhir 1980-an. Keenan Nasution adalah sosok musisi yang sarat inovasi. Ia tidak mau terpaku pada satu posisi, melainkan senantiasa beringsut untuk menambah pengalaman dan mengasah skill serta daya musikalnya.

Musisi kelahiran 5 Juni 1952 ini dianugerahi talenta yang berlebih. Tidak hanya piawai menyanyi, Keenan Nasution juga mahir memainkan banyak alat musik, dari drum, gitar, bass, dan masih banyak yang lainnya. Tidak hanya itu, sahabat dekat Chrisye ini pun punya kebisaan menciptakan lagu.

Jam terbang Keenan Nasution sebagai musisi tidak perlu diragukan lagi. Terlahir dari keluarga seniman, lelaki keturunan Batak yang lahir di Jakarta ini sudah malang-melintang di belantika musik tanah air sejak awal dekade 1970-an.

Pada 1972, Keenan Nasution kerap tampil di Manhattan, Amerika Serikat, bersama grupnya kala itu yakni Gipsy Band.
Dari God Bless Hingga Gank Pegangsaan
Pengalaman musikal Keenan Nasution bertambah ketika ia direkrut oleh grup band rock kenamaan, God Bless, bersama dua saudara kandungnya, Oding dan Debby Nasution. Pada 1975, Keenan Nasution lepas dari God Bless dan kemudian mendirikan band sendiri bersama Chrisye, Fariz RM, Yockie Suryoprayogo, Roni Harahap, dan Guruh Soekarnoputra, di bawah bendera Badai Band.



Era Badai Band pun akhirnya usai. Namun, para punggawa Badai Band tidak berhenti begitu saja. Kecuali Fariz RM yang digantikan oleh Abadi Soesman, mereka kemudian membentuk band baru, namanya Guruh Gipsy.

Dari namanya, Guruh Gipsy bisa dimaknai sebagai gabungan antara Guruh Soekarnoputra dan para musisi mantan personel Gipsy Band.

Keenan Nasution masih belum puas dengan pencapaiannya sejauh ini. Bersama adik kandungnya, Debby Nasution, ia mengumumkan terbentuknya band teranyarnya, yaitu Gank Pegangsaan. Nama grup ini berasal dari nama kediaman keluarga Nasution yang berlokasi di Gang Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat.


Bangkitnya Sang Legenda 
Menginjak era 1990-an, Keenan Nasution kembali berinovasi. Kali ini ia berkolaborasi dengan maestro kesenian Betawi, Benyamin Sueib, dengan menggagas grup bernama Al Haaj. Pada 1992, grup unik ini sempat menelurkan album berjudul Biang Kerok.

Asal tahu saja, Keenan Nasution adalah suami dari Ida Royani yang sempat lekat sebagai pasangan duet Benyamin S. Keenan Nasution sendiri pernah berduet dengan sang istri dan menghasilkan 2 album.

Tak hanya berkiprah di grup atau band, Keenan Nasution juga menorehkan prestasi pribadi. Banyak hits yang lahir dari buah pikirnya. Yang paling booming tentu saja lagu ”Nuansa Bening” yang termasuk dalam album solonya bertajuk Di Batas Angan-Angan (1978). Selain itu, Keenan pun sering diminta membantu pengerjaan proyek musik para musisi top pada masa itu.

Di penghujung tahun 2011, nama Keenan Nasution yang sempat tenggelam ternyata muncul lagi. Pada 28-29 November 2011 ia menghelat konser tunggal di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Konser sang legenda ini melibatkan sejumlah musisi dari generasi yang berbeda, ada Fariz RM, Noor Bersaudara hingga Once dan Marcel Siahaan. Keenan Nasution tampaknya tidak akan berhenti berkarya, bahkan jauh melampaui batas angan-angannya.

DISKOGRAFI
Album Solo: 

Di Batas Angan Angan - 1978
Tak Semudah Kata-Kata - 1979
Akhir Kelana - 1980
Beri Kesempatan - 1981
My Love bersama Ida Royani - 1982
Romansa bersama Ida Royani - 1983
42nd Street - 1983
Dara Dara - 1984
Kupu Kupu Cinta - 1986
Bunga Asmara - 1990

Album Grup: 

Guruh Gipsy, Guruh Gipsy - 1976
Gank Pegangsaan, Palestina - 1989
Al Haaj, Biang Kerok - 1992

selengkapnya >>>

Sabtu, 24 Desember 2011

Dalam Kematian Nike Ardila Bersinar

KABAR DUKA itu datang tak diundang. Pukul enam lewat limabelas menit di pagi tanggal 19 Maret 1995, sang idola menutup mata untuk selama-lamanya. Pada usia 19 tahun, Nike Ardila tewas setelah mobil sedan biru miliknya menghujam pagar beton di salah satu sudut jalan di kota kembang Bandung.

Seisi penghuni jagat musik Indonesia berduka. Bagaimana tidak? Nike Ardila wafat saat berada di puncak karirnya sebagai ratu rock Indonesia.

Ribuan orang mengantar sang diva ke tempat persemayaman terakhirnya. Bahkan, hingga berhari-hari setelah hari penguburan Nike Ardilla, masih terlihat para fans-nya yang bertahan di makam ataupun di rumah duka.

Nike Ardila memang luar biasa. Jejak prestasi dan lonjakan karir mojang Sunda bernama asli Raden Rara Nike Ratnadilla Kusnadi ini seolah-olah tidak ada saingannya pada waktu itu. Pengaruh sang ”Queen of Indonesian Rock” tertanam sangat kuat bagi para pemujanya, bahkan sampai saat ini.

Belasan album telah dihasilkan sang legenda itu, tak terhitung pula lagu yang dinyanyikannya berhasil menjadi hits. Selain jago nyanyi, pelantun ”Bintang Kehidupan” ini juga piawai berakting dengan membintangi sejumlah film dan sinetron. Anak didik kesayangan Deddy Dores ini memang tak tergantikan. Hari kematian Nike Ardila hingga kini masih diperingati oleh fans fanatiknya yang berbondong-bondong datang ke makam sang bintang pujaan.

Nike Ardila menempati ranking ke-4 dari 100 orang perempuan paling berpengaruh di Indonesia. Berita tewasnya sang kembang nada pun menjadi sajian yang paling sering nongol di layar kaca lebih dari tiga bulan non stop. Segala pesona dan keluarbiasaan Nike Ardila tergambar jelas lewat ungkapan yang ditulis Majalah Asia Week: ”In Dead She Soared”. Ya, dalam kematian ia bersinar!

selengkapnya >>>

Sabtu, 16 Juli 2011

Gito Rollies & Dedy Stanzah: Duet Gila Duo “Gila”

DI MASA tenarnya, Gito Rollies dikenal sebagai sosok musisi yang “gila”, terkesan urakan bin slenge’an, dan ceplas-ceplos kalau bicara, termasuk dalam bermusik. Lantas, apa jadinya jika “kegilaan” Gito ini berpadu dengan sosok “gila” yang lain? Hasilnya tentu saja adalah ramuan rock ‘n roll yang mahadahsyat. Ya, “kegilaan” Gito Rollies memang semakin nyata tersalurkan berkat duetnya bersama seorang karibnya yang sama-sama pernah bernaung di grup The Rollies. Orang itu adalah Dedy Stanzah, yang juga berkibar di bawah panji-panji Superkid.

Gito dan Dedy adalah pasangan sejati dalam dunia hiburan. Mereka adalah duet maut penghibur ulung yang nyaris tanpa takut mengungkapkan apa yang ada di dalam benak mereka, bahkan pikiran yang terliar sekalipun. Tidak percaya? Coba simak duet mereka dalam lagu berjudul Koq (Lepas Sensor) di mana Gito dan Dedy berkoar lepas plus ceplas-ceplos. “Protesmu jelas, kritikanmu boleh pedas, diam-diam juga doyan!” celetuk keduanya di lagu yang bertema tentang serbuan kritik terhadap film-film panas yang marak di zaman peralihan dari dekade 1980-1990’an itu.



Lagu-lagu lainnya hasil kolaborasi mereka pun tak kalah memukau. Dengarkanlah tembang bertajuk Rock’in Bird yang sangat kental dengan nuansa rock n’ roll. Atau lagu persembahan dari Dedy yang terinsipirasi dari aksi khas Gito yang memang piawai nge-dance, berjudul Do the Gito Dance. Keduanya juga menyanyikan ulang lagu Kehidupan, yang dipopulerkan oleh God Bless, dengan kemasan yang berciri khusus. Tipikal vokal Gito Rollies yang serak-serak basah dengan sedikit bumbu “genit” berpadu dengan ciri suara Dedy Stanzah yang “lemas”, terkesan “agak malas”, namun tetap berkarakter, berharmonisasi dalam lagu Kehidupan itu sehingga hasilnya cukup menjadi pembeda dengan tampilan aslinya yang diisi vokal Ahmad Albar.

Gito Rollies dan Dedy Stanzah memang pasangan klop. Berdua, mereka menikmati masa muda dengan “bersenang-senang” di gemerlapnya dunia hiburan kendati karya mereka tetap terus berjalan cemerlang, salah satunya lewat album kolaborasi bertajuk Higher and Higher. Kini, keduanya telah tiada. Dedy Stanzah wafat pada 22 Januari 2001. Sedangkan Bangun Sugito alias Gito Rollies menghembuskan nafas penghabisan pada 28 Februari 2008 setelah dalam beberapa tahun terakhir ia menyatakan tobat dan menjalani kehidupan religius dengan lebih serius. (Iswara N Raditya)  

selengkapnya >>>

Rabu, 15 Juni 2011

Endank Soekamti, Tetap Liar dan Menyenangkan!


BUKAN Endank Soekamti namanya jika tak menarik sekaligus eksentrik. Lewat album keempatnya, trio Erix, Ari, dan Dory masih tahu caranya bersenang-senang lewat bermusik. Mengusung akar punk rock yang kuat namun tetap mudah melekat di kuping, mereka menggeber lagu-lagu cadas dengan irama lugas dan susunan lirik yang seolah mengalir begitu saja. Para personel Endank Soekamti seakan-akan ingin membuktikan bahwa tema cinta dan kritik sosial bukan hanya bisa diungkapkan dengan cara yang itu-itu saja. Banyak nukilan peristiwa dalam kehidupan yang dapat diusung menjadi susunan lagu yang bermutu. Mereka memang masih menulis lagu cinta, namun disampaikan dengan gaya yang slengekan dan justru itulah yang menjadi daya pikat trio gokil dari Yogyakarta itu.

Lagu “Audisi” menjadi andalan di album yang bertajuk “Soekamti.com” ini. Nama album itu sendiri sekaligus digunakan sebagai ajang promosi offisial website mereka, yakni www.soekamti.com
, seperti yang mereka ucapkan di lagu “Intro” pada album ini. Tembang jagoan berikutnya yang kini mulai naik daun adalah yang berjudul “Semoga Kau di Neraka”, sebuah lagu bertema cemburu yang dikemas dengan ganas namun sekaligus ceria dan membangkitkan semangat bagi mereka yang sedang patah hati. Di album ini pula, Endank Soekamti mengungkapkan rasa nasionalisme mereka lewat lagu “Berkibar Tinggi” yang disajikan secara bergelora dengan nada vokal yang cenderung melengking sebagai sinyal kebanggaan mereka terhadap bumi pertiwi.

Ada satu lagu “mellow” yang mengisi album ini, bertajuk “Long Live Family”. Namun, lagu ini ternyata bukan lagu cengeng, melainkan lagu bernuansa persahabatan yang kini menjadi “lagu kebangsaan” baru bagi para Kamtis (fans Endank Soekamti). Selain itu, terselip satu lagu nyleneh khas Jogja di album ini, dengan judul “Badajidingadan”, yang ditulis menggunakan lirik bahasa Jawa dan bahasa prokem anak Jogja di era 90-an. Lagu spesial ini memang cenderung liar dan spontan, namun tetap saja sangat renyah didengar dan didendangkan.

Masih banyak keliaran yang menyenangkan di album keempat grup band sangar yang berdiri pada 2001 ini, sebut saja lagu “Satria Bergitar”, “Masih Merdeka”, “Tancap Gas”, “Heavy Birthday”, “Mars Kamtis Part 2”, “Jurus Jitu”, dan lain sebagainya. Total jenderal, album “Soekamti.com” ini menggelar 16 lagu, termasuk hiddent track “Badajidingadan”, serta dua lagu yang berperan sebagai pembuka dan penutup album, yakni “Intro” dan “Outro”. Sampai nanti, Endank Soekamti tidak akan pernah mati! Tetap Bergema! (Iswara N. Raditya/Tetap Bergema)

selengkapnya >>>

Rabu, 19 Januari 2011

KLa Project Incar Kawula Muda



PERJALANAN panjang grup musik KLa Project yang kini berganti nama menjadi KLa Returns memang terbilang berliku. Keluar masuk personil pun pernah dialami oleh band yang memiliki personel Katon Bagaskara, Lilo dan Adi ini. Meski telah lama bermusik, KLa pun tak mau kehilangan penggemarnya. Bahkan mereka pun ingin mencari para penggemar muda dengan aransemen-aransemen musik mereka yang terbaru.

"Kami adalah musisi yang memang punya sesuatu yang ingin disampaikan. Kita juga berharap untuk mendapatkan pendengar baru. Jangan sampai ada yang bilang, siapa sih KLa? Oh itu grup musik ibu gue. Kita berharap mendapatkan penggemar baru yang remaja saat ini," ujar Lilo. Namun meski begitu, KLa pun tetap menginginkan para penggemarnya bisa terinspirasi saat mendengar lagu-lagu mereka. Itu tandanya, musik mereka dihargai secara kualitas.

"Jadi musik adalah musik, untuk didengarkan oleh orang-orang yang ingin benar-benar mendengarkan musik, kalau orang ada yang mengaku terinspirasi, itu yang membuat kami semangat," tuturnya. Pun diakui perubahan yang dilakukan oleh KLa juga tidak menghilangkan kualitas mereka dalam bermusik. "Makanya kalau dulu lagu KLa 30 detik baru dapat intro, sekarang 30 detik sudah bisa masuk ke reffrein. Kan eranya lagu sekarang empat menit. Jadi penggemar baru akan suka, dan penggemar lama akan bilang oke ini band gua dengan gaya baru," tandas Lilo.

Sumber: KapanLagi

selengkapnya >>>

The Flowers, Masih Bergema!



SEMPAT diisukan bubar, The Flowers, band Rock n Roll yang berdiri tahun 1997, masih tetap bergema, dibuktikan dengan tetap eksisnya mereka di belantika musik Indonesia. Setelah mengeluarkan album April 2010 lalu, mereka berkali-kali naik turun panggung dari gigs cafĂ© kecil-kecilan sampai dengan Javarockin’land sudah mereka rasakan. Band yang beranggotakan Njet (vokal), Boris Simanjuntak (gitar), Leo (bass), Eugen (saxophone), dan Dado (drum) ikut serta meramaikan acara charity “Indonesia Satu Kita Peduli” yang diselenggarakan oleh Twins music di Bulungan outdoor, Jakarta Selatan, (28/11/10)silam.

“Lonely Boy” lagu dari album terbaru mereka menjadi pembuka malam itu, aksi atraktif para personil The Flowers memang mengundang gelak tawa dibarengi dengan skill tinggi, aksi panggung mereka memang patut di acungi jempol. Kisah tak terduga mereka lakukan malam itu, di tengah-tengah lagu secara mengejutkan mereka mengheningkan cipta untuk mendoakan korban bencana di Indonesia, dahsyat!

Dilanjutkan dengan “Rajawali”, penonton pun ikut bernyanyi walau setelah lagu “Rajawali” Njet sudah pamit, karena The Flowers harus melanjutkan main di acara lain pada malam itu, penonton seperti tidak rela jika mereka hanya menyanyikan 2 lagu saja, “Lagi...! Lagi...!” teriak penonton, dan akhirnya “Tolong Bu Dokter” pun menutup aksi mereka malam itu. “Nama lu semua dicatet sama yang di atas, thank’s banget udah hadir malem ini walau sepi,” ucap Njet di atas panggung. (Agan)

Sumber: DapurLetter
Foto: KapanLagi

selengkapnya >>>

Duo Edan di EDANE

SEPERTI Trent Reznor dan Nine Inch Nails, atau Eddie Van Halen dan Van Halen, atau juga Billy Corgan dan Smashing Pumpkins, sosok Zahedi Riza Syahranie atau akrab dipanggil Eet Syahranie ini tidak bisa dipisahkan dari Edane, legenda hard rock Indonesia. Ia mendirikan, mengonsep, merekam, dan juga bertanggung jawab dalam segala macam pengambilan keputusan di tubuh band itu. Dari mulai berdiri di tahun 1992, merilis album The Beast yang sangat sukses dengan hit single “Ikuti” dan merebut hati pecinta musik rock Indonesia setelah merebut posisi sebagai opening act konser Sepultura nan legendaris di stadion Lebak Bulus, Jakarta, tahun 1992. Semenjak itu masyarakat mengenal Edane sebagai band rock penuh skill. Permainan gitar mumpuni, ekspresi panggung 200 persen, sound live dan recording membuat mereka bisa masuk kategori terbaik untuk musik rock di Indonesia. Bukan berlebihan bila menganggap Edane adalah jawaban Indonesia terhadap aksi luar negeri macam Van Halen, AC/DC dengan gitaris megaandal yang pola solo gitar secepat kilatnya tak pernah gagal meng-undang kagum tiada tara.


“Eet kalau lagi solo gitar, sakit jiwa banget. Nama Edane memang pantas jadi legenda di musik Indonesia. Orangnya juga sangat rendah hati.” Ini adalah pengakuan Lukman Laksmana atau Buluk, vokalis dari band Superglad yang pernah berkolaborasi bersama Eet Syahranie.
Stevie Item, gitaris Andra and the Backbone dan juga Deadsquad punya komentar bernada mirip, “Eet adalah salah satu gitaris favorit saya. Pemain yang luar biasa dalam skill, arranging, dan memiliki sound yang berkarakter. Saya selalu kagum setiap Eet sedang perform.”

Kerendahan hati Eet di industri musik Indonesia menjadi aroma harum yang selalu menyenangkan bila tercium. Seorang pahlawan gitar yang kerap menghargai lawan bicara. “Eet seperti Pak Tino Sidin dunia gitar. Gue saja yang nggak jago-jago amat dibilang main bagus oleh dia,” tukas Buluk Superglad kemudian. Namun di balik kerendahan hati Eet, berdiri seorang pria yang tegas, tahu persis apa yang dia mau, dan akan menempuh berbagai jalan untuk mewujudkan kenyamanan dalam mengeks-presikan keseniannya.

Beberapa pihak bahkan menyebut Eet sebagai pemimpin yang menerapkan cara diktator di dalam band. Salah satu bukti adalah setelah enam album terakhir yang mereka rilis, posisi vokalis kerap berganti dari mulai Ecky Lamoh di album The Beast (1992), Heri Batara yang kemudian banting setir jadi manajer mere-ka hingga kini, Robby Matulandi, Trison Manurung vokalis Roxx yang kemudian berpisah jalan di tahun 2005, tak terlalu lama setelah bergabung. Iwan Xaverius Timbuleng, pemain bas ex-Jet Liar yang mendampingi Eet sejak Edane awal berdiri pun mengundurkan diri di tahun yang sama. Hingga Edane jalan hanya bersama Fajar Satritama, drummer yang ‘diboyong’ Eet dari Cynomadeus, bandnya sebelum Edane.

Fajar Satritama adalah karakter yang juga menarik. Berbadan tegap, memukul drum seperti esok kiamat, namun berperawakan tenang. Pria yang lahir di Jakarta, 11 Juli 1970 ini adalah pria berprestasi baik di musik maupun di kehidupan luar musik. Mengecap prestasi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang digelutinya tahun 1989, hingga dicalonkan menjadi mahasiswa terbaik FHUI di kisaran 1993, satu tahun setelah album The Beast memecah kesunyian musik Indonesia. Setelah lulus pun ia bekerja dengan baik. Sepuluh tahun terak-hir ia bekerja di sebuah bank OCBC NISP dan kini nyaman duduk di jabatan Corporate Business Head.

Pekerjaan harian ini pula yang menyebabkan di beberapa panggung, Edane paling leluasa untuk tampil di hari Sabtu dan Minggu, walau kini Eet Syahranie mengaku ia telah menyiapkan additional player, jika Fajar Satritama berhalangan karena harus manggung di weekdays. Dan kini di tahun 2010, yang tinggal hanyalah Fajar dan Eet, duo yang hubungannya paling harmonis di band, sekilas seperti Achmad Albar dan Ian Antono pada God Bless, atau mungkin Ahmad Dhani dan Andra Ramadhan di dunia pop. Album bertajuk Edan pun pada ak-hirnya dirilis oleh kenalan lama mereka Log Zhelebour melalui Logiss Records. Edane pun kembali untuk menggemparkan dunia rock. Berikut adalah petikan bincang-bincang Rolling Stone dengan Edane yang kebanyakan diwakili oleh Eet Syahranie sang pemimpin.

Sumber: RollingstoneIndonesia

Foto: Ludmila Gaffar dalam RollingstoneIndonesia

selengkapnya >>>