“Indonesia Raya, lagu kebangsaan yang agung namun gagah berani. Maestoso con bravura!”
Jozef Cleber, Musisi Senior Belanda
Jozef Cleber, Musisi Senior Belanda
Oleh Iswara N Raditya
SEMUA ORANG terdiam saat syahdu biola terdengar membelah kesunyian. Gesekan dawai yang menggetarkan nurani itu memainkan partitur pembuka sebelum setiap mulut di ruangan itu serempak membuka, mengumandangkan syair heroik dengan penuh perasaan. Ada yang menitikkan air mata haru, ada pula yang menyanyikan soneta itu dengan luapan semangat, juga ada yang cuma menggumam sembari memejamkan mata, menghayati bait demi bait yang dilantunkan. Aransemen lagu itu memang dahsyat, bak pantun berantai (seloka) yang dirangkai nyaris persis ketika Empu Walmiki merajut epos legendaris Ramayana.
Seorang muda berkacamata dengan baju dan peci lurik berdiri di deretan paling depan, menghadap para hadirin yang terhanyut oleh syair-syair bernada patriotik itu. Tangan-tangan lihai lelaki duapuluhlima tahun itu memainkan biolanya dengan merdu. Itulah dia, Wage Roedolf Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya, suara kebangsaan yang untuk pertamakalinya diperdengarkan di hadapan publik pada malam penutupan Kongres Pemuda ke-II 1928 di Jakarta. Lagu Indonesia Raya menyempurnakan tiga ikrar para pemuda yang bermufakat untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu: Indonesia.
Beberapa hari kemudian, di halaman utama suratkabar Sin Po, koran Tionghoa yang pro terhadap pemikiran Indonesia, berita tentang Sumpah Pemuda telah tercetak dan beredar. Teks Indonesia Raya pun terpampang dengan jelas. Sebuah tindakan yang cukup berani yang dilakukan media massa pada masa itu. Bahkan, Sin Po adalah satu-satunya koran pada kurun tersebut yang dengan gamblang dan terang-terangan memakai kata “Indonesia” di halaman pertama sebagai rubriknya. Tampaknya, bagi Sin Po, jauh lebih baik membantu Indonesia daripada bertekuk lutut di hadapan Belanda. Keberanian Sin Po tentu saja berpengaruh terhadap pemuda-pemuda Indonesia yang saat itu sedang bergelora untuk meleburkan diri dalam persatuan, termasuk pada diri Soepratman yang bekerja untuk suratkabar itu.
Waktu berhitung mundur sampai pada titik tahun 1903. Hari itu tepat pasaran Wage, pada bulan Maret di tahun ketiga pertama abad ke-20, Soepratman mulai menatap dunia. Bapaknya yang seorang mantan tentara KNIL berpangkat sersan, Jumeno Senen Sastrosuharjo, menambahkan nama anak ketujuhnya itu sesuai dengan hari pasaran lahirnya, inilah Wage Soepratman. Saudara sekandung Wage Soepratman ada enam orang: seorang kakaknya lelaki, yang lain adalah perempuan.
Masih terjadi perdebatan mengenai tanggal dan tempat lahir Soepratman. Versi yang diyakini selama ini adalah ia lahir tanggal 9 Maret 1903 di Jatinegara Jakarta. Bahkan, sejak 2003 pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, setiap tanggal 3 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Sementara itu, Dwi Rahardja, seorang peneliti dan pembuat film dokumenter tentang WR Soepratman, melakukan penelusuran sejarah untuk merekonstruksi fakta yang sebenarnya.
Sang peneliti itu berinisiatif mencari keterangan dari orang-orang terdekat Soepratman, antara lain kakak kandung dan adik tiri Soepratman, Roekijem Soepratijah dan Oerip Soepardjo. Alhasil, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya sepanjang 28 tahun, akhirnya disimpulkan bahwa WR Soepratman lahir pada 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo (Jawa Tengah). Dua bulan kemudian, pada Juni 1903, jabang Wage di dibawa ke Tangsi Meester Cornelis Jatinegara di Batavia, tempat bertugas sang bapak.
Setelah menamatkan sekolah dasarnya di Batavia, pada 1914 Soepratman ikut kakak perempuannya, Roekijem, ke Makasar, Sulawesi Selatan. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik, seorang indo anggota tentara Belanda. Oleh kakak iparnya inilah, nama Wage Soepratman diberi tambahan Rudolf, menjadi Wage Rudolf Soepratman atau yang sering dikenal sebagai WR Soepratman.
Di Makasar, Soepratman masuk ke sebuah sekolah malam untuk memelajari bahasa Belanda, di samping juga sekolah reguler di Europees Lagere School (ELS). Setelah lulus ELS, Soepratman melanjutkan studinya ke Normaal School. Pada usia 20 tahun, ia menjadi pengajar di sekolah untuk pribumi atau Sekolah Angka Dua. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar. Soepratman lantas menuju kota Singkang untuk bekerja di sebuah perusahaan dagang. Namun, tidak lama ia merasa tidak betah lalu minta berhenti dan kembali ke rumah kakaknya di Makasar.
Minat Soepratman pada dunia musik termotivasi dari Roekijem dan suaminya. Kakak perempuannya itu memang menggemari sandiwara dan musik, khususnya memainkan biola. Seringkali Roekijem dan Willem van Eldik serta beberapa teman tentaranya mengadakan pertunjukan teater alakadarnya di mes militer. Lingkungan seni inilah yang membuat Soepratman jadi menyukai musik. Ia mulai banyak membaca buku-buku tentang musik dan berlatih biola di bawah panduan Roekijam dan suaminya.
Di Makasar inilah, pada 1920 Soepratman memimpin grup band dengan nama Black & White, yang bisa dibilang salahsatu perintis aliran jazz pertama di Indonesia, bahkan di dunia karena band Soepratman ini berkurun tak jauh beda dengan masa mulai dikenalnya musik jazz di dunia global. Saban malam minggu, Soepratman beserta band-nya memainkan jazz untuk mengiringi dansa tuan dan nyonya Belanda yang sedang menikmati libur akhir pekan.
Tahun 1924, Soepratman kembali ke Jatinegara Batavia. Pada suatu hari, ia membaca sebuah artikel di majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Soepratman yang sudah semakin kental jiwa nasionalismenya merasa tertantang. Menulis lirik Indonesia Raya dalam bahasa Melayu yang baik tentulah merupakan tantangan besar bagi Soepratman.
Sekalipun pernah menjadi guru dan kemudian bekerja sebagai wartawan, Soepratman lebih lancar berbahasa Belanda daripada bahasa Melayu. Ini adalah kenyataan yang dihadapi semua tokoh pemuda Indonesia ketika itu. Pada Kongres Pemuda ke-II yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928, ternyata tidak semua tokoh pemuda dapat berpidato dalam bahasa Melayu. Mereka terpaksa memakai bahasa Belanda yang secara sukarela diterjemahkan oleh Mohammad Yamin dari perkumpulan pemuda Jong-Sumatera ke dalam bahasa Melayu. Maklum, hanya pemuda Sumatera yang ketika itu fasih berbahasa Melayu. Pada masa itu, bahasa Melayu belum menjadi bahasa terpopuler di Hindia Belanda, karena memang dikondisikan demikian oleh pemerintah kolonial. Bahasa Belandalah yang utama. Tak heran, jika para pemuda Indonesia lebih menguasai bahasa Belanda ketimbang bahasa anak negerinya sendiri.
Soepratman menjawab tantangan itu. Sejak itu, ia mulai belajar menggubah lagu. Dengan segenap pendalaman yang serius, akhirnya ia berhasil merangkai kata-kata yang penuh pujian dan kemuliaan. Dan jadilah lirik lagu Indonesia Raya. Hebatnya lagi, syair Indonesia Raya hanya sekali mengalami revisi pada tahun 1944 oleh sebuah panitia yang memersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia (PPKI), dan hingga kini tidak pernah diubah lagi. Sedangkan aransemennya sempat dipercantik oleh musisi Eropa kenamaan, Jozef Cleber, atas permintaan Presiden Soekarno, pada akhir 1950.
Naluri kebangsaan Soepratman kian menumbuh tatkala ia pindah ke Bandung pada 1924 dan menjadi wartawan suratkabar Kaoem Moeda. Di koran itu, Soepratman ikut memerjuangkan cita-cita bangsa dalam bidang komunikasi massa lewat kemahirannya bermain biola dan mencipta lagu. Soepratman juga pernah bekerja untuk suratkabar Sin Po. Selama menjadi jurnalis, Soepratman juga belajar menulis. Selain lewat nada, rasa tidak senangnya terhadap kolonialisme dituangkannya dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa. Buku yang mengandung nilai-nilai nasionalitas dan menyinggung pemerintahan kolonial Belanda itu akhirnya disita dan dilarang beredar.
Pada 1924 itu pula, lahirlah lagu Indonesia Raya. Lagu inilah yang kelak setelah Indonesia merdeka ditahbiskan sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia. Pemerintah kolonial tentu saja terkaget-kaget mendengar lagu ciptaan Soepratman. Bagaimana mungkin bangsa yang belum merdeka sudah memunyai lagu kebangsaan? Belanda tidak suka melihat pribumi menjadi satu, mereka lebih senang dengan kaum bumiputera yang terpisah-pisah ke dalam beberapa golongan suku. Pemerintah kolonial lebih nyaman melihat adanya suku Jawa, Sunda, Madura, Batak, Ambon, ataupun Minahasa ketimbang mengetahui mereka ini sudah menjadi satu kesatuan bangsa yang utuh yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia.
Lahirnya ikrar Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya dianggap sebagai biang keladi pemersatu kaum pribumi, apalagi dalam lirik lagu itu termuat kata-kata “merdeka”, dan pihak kolonialis sangat alergi dengan itu. Pemerintah semakin murka karena ternyata lagu Indonesia Raya dengan cepat menjadi sangat populer di kalangan kaum intelektual pribumi dan seolah menjadi mantra sakti yang wajib dinyanyikan setiap mereka mengadakan pertemuan. Belanda ketakutan apabila semangat nasionalisme bangsa yang dijajahnya kian mewabah. Oleh karena itu, pemerintah pun memberlakukan aturan yang cukup ketat terhadap lagu Indonesia Raya. Belanda lantas melarang kata “merdeka, merdeka!” yang terdapat dalam refrein lagu Indonesia Raya dan mengancam akan memberikan hukuman berat bila aturan ini dilanggar.
Pemuda juga dilarang menyanyikan lagu itu dengan berdiri atau di tempat umum. Lagu itu juga ditolak sebagai lagu kebangsaan (volkslied) serta diturunkan derajatnya menjadi lagu perkumpulan (clublied). Meskipun demikian, para pemuda tidak gentar. Mereka menyiasatinya dengan kata pengganti, “mulia, mulia!", bukan "merdeka, merdeka!". Para aktivis perjuangan itu tetap saja menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan. Dan mereka tetap menyanyikan lagu itu pada setiap rapat-rapat politik.
Ditelisik dari susunan liriknya, lagu Indonesia Raya adalah suatu bentuk soneta atau sajak empatbelas baris yang terikat dalam satu pikiran dan perasaan yang bulat. Soneta ini terdiri dari satu oktaf (kumpulan delapan nada berturut-turut dengan dua kuatren yang masing-masing bait terdapat empat larik (puisi empat seuntai). Dengan ciri ini, Indonesia Raya sangat pas dinyanyikan dan dimainkan oleh masing-masing enam penyanyi dan enam pemain musik alias satu sekstet. Penggunaan bentuk ini dilihat sebagai avabt grade alias "mendahului zaman", kendati soneta sendiri sudah populer di Eropa.
Indonesia Raya lebih berirama mars (tempo di marcia). Pada partitur aslinya, WR Soepratman menuliskan tanda irama khusus pada ciptaannya itu. Soepratman menulis,” Oepatjara. Djangan terlaloe tjepat!”. Artinya, lagu ini tidak akan bermakna jika dimainkan dalam tempo yang terlalu cepat karena di sinilah letak kekuatan magis lagu Indonesia Raya. Karena pada waktu penciptaannya terkendala oleh keterbatasan teknologi, lagu Indonesia di masa awal, didengar dari kesan iramanya, terasa kurang greget. Hal itu wajar karena fasilitas alat musik untuk memainkannya pun masih sangat sederhana. Maka itu, kepada Josef Cleber, Bung Karno meminta agar aransemen Indonesia Raya dipoles menjadi lebih menggetarkan jiwa. "Harus ada bagian yang liefelijk, yaitu pada bagian sebelum refrain. Refrainnya sendiri harus meledak agar menciptakan klimaks," pinta Bung Karno. Namun, untuk menjaga makna asli dan orisinalitas Indonesia Raya, Bung Karno mewanti-wanti Josep, “"Indonesia Raya itu seperti Bendera Merah Putih. Tidak perlu diberi renda-renda lagi."
Josep Cleber memahami apa yang diinginkan Bung Karno. Bagian liefelijk (mendayu-dayu), yaitu empat baris sebelum refrain, didekati dengan dominasi alat-alat gesek seperti biola dan cello. Sedangkan untuk menciptakan efek gelegar pada refrain, Cleber memasukkan unsur simbal, timpani, dan terompet yang sangat gagah. Alhasil, sempurnalah lagu Indonesia Raya sebagai layaknya lagu kebangsaan negara seperti yang sering diperdengarkan sekarang.
Kehidupan sehari-hari Soepratman jauh dari layak. Ia tidak cukup banyak memunyai pakaian yang pantas dikenakan untuk menghadiri rapat-rapat politik. Pantalonnya yang dibikin dari kain berwarna putih sudah menjadi agak hitam. Di sana-sini terlihat rombeng, kain itu sudah kian menipis karena saking seringnya dipakai. Soepratman tak kuat membeli baju di tempat yang pantas dan lebih memilih berbelanja pakaian bekas di Pasar Senen. Rumahnya pun cuma berupa gubug reyot. Upahnya sebagai wartawan nyaris tak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan yang primer, untuk makan sehari-hari. Ia wajib bekerja keras mencari berita hingga ke pelosok-pelosok Batavia. Tak ada berita berarti tak makan.
Tetapi, di balik segala kemelaratan dan kenestapaannya, WR Soepratman dengan gemilang mampu menciptakan lagu-lagu andalan bagi bangsa. Selain mahakaryanya Indonesia Raya, Soepratman sukses pula membikin lagu-lagu legendaris lainnya, salah satunya adalah lagu Ibu Kita Kartini. Ia juga menjadi aktor utama terciptanya lagu-lagu mars partai-partai pergerakan, seperti Mars-PBI, Mars-KBI, serta Mars-Suryawirawan. Lagu-lagu Soepratman pada saat itu sangat populer di kalangan aktivis pergerakan karena sangat bernafaskan semangat perjuangan. WR Soepratman juga pernah tercatat sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), juga Partai Indonesia Raya (Parindra).
Inilah jasa utama WR Soepratman bagi pembentukan negara Indonesia. Soepratman adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang mampu menggelorakan semangat kebangsaan rakyat lewat musik. Jika lazimnya pejuang pergerakan memantik nasionalisme rakyat melalui pidato, tulisan, citra personal, ataupun aksi-aksi politik, Soepratman berhasil membuka mata dan hati rakyat dengan kejeniusannya mencipta lagu yang mampu menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka harus bergerak menuju kemerdekaan atas nama satu bangsa.
Pada masa pendudukan Jepang yang mulai menjajah Indonesia sejak 1942, lagu Indonesia Raya juga dilarang dinyanyikan. Baru pada 18 Agustus 1945, tujuhbelas tahun setelah diciptakan, Undang-undang Dasar 1945 memutuskan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia. Sayang, Soepratman telah meninggal dunia tepat delapan tahun sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu kebangsaan yang menggelorakan itu, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda.
Kondisi kesehatan Soepratman mulai melemah sehingga ia dibawa ke rumah orangtuanya di Cimahi untuk menjalani perawatan dan istirahat. Tak lama kemudian, Soepratman yang sudah kepayahan diboyong ke Surabaya ke rumah salah seorang kakak perempuannya. Kendati sudah teramat parah, semangat Soepratman untuk terus berjuang tiada pernah redup. Di Surabaya inilah ia bergabung dengan Parindra bersama Dr Soetomo. Maut semakin dekat mengintai Soepratman ketika ia baru saja selesai menciptakan lagu terakhirnya yang bertitel Matahari Terbit. Pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama bersama para pemuda di Jalan Embong Malang-Surabaya. Kemudian Soepratman dipenjarakan di rumah tahanan Kalisosok Surabaya.
Wage Rudolf Soepratman meninggal dunia tanggal 17 Agustus 1938 pada umur tigapuluhlima tahun karena sakit, kemungkinan sakit syaraf atau paru-paru. Soepratman rela mengorbankan dirinya demi bangsa dengan wafat pada usia muda, mendahului para seniornya. Soepratmanlah musisi muda Indonesia yang utama. "Harus saya akui, saya menitikkan air mata ketika membaca bagian yang mengisahkan akhir hayat Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan kita. Saya terharu, betapa orang sebesar dia harus mengakhiri hidupnya dalam kesepian dan kesengsaraan. Hidupnya sungguh tidak seindah lagunya," kenang Bung Karno salut.(Iswara NR, baca juga di: bataviase.wordpress.com)
jayalah negeriku majulah bangsaku..salut buat para pejuang seni indonesia..
BalasHapus