Rabu, 09 Januari 2008

Deg-Deg-Plas Rock n’ Roll Indonesia

Oleh Petrik Matanasi

SUATU HARI
di bulan Desember 1999, aku mengalami kejadian yang tak akan kulupa. Ayahku marah dan punggungku dipukul. Kendati aku tidak mendendam, setelah kejadian itu aku langsung kabur. Entah kemana aku lupa, pokoknya lari dan lupakan semua!

Semua bermula dari kegemaranku pada lagu-lagu tempo dulu. Satu-satunya hiburan dihunianku yang sempit waktu kecil hanyalah piringan hitam. Ya, piringan hitam milik ayah dan itu adalah barang paling berharga miliknya. Ayah akan marah bila kuputar lagu Speed King dari piringan hitam Deep Purple miliknya. Dia nyaris memukulku waktu aku ketangkap basah sedang memutar lagu tersebut. Sejak itu, selama beberapa waktu aku tidak berani menyentuh barang keramat milik ayah itu lagi.

Persetan dengan kawan-kawan yang merasa hebat dengan lagu Backstreet Boy (Gila, ada juga anak-laki-laki penggemar Boyband). Entahlah, aku pun juga tak begitu tahu tentang kehebatan –seperti yang dibilang ayah– band-band legendaris semacam The Beatle's, Queen, atau barang kali Pink Floyd. Aku lebih tertarik mencari tahu nama besar mereka.

Aku pernah menonton di film tentang Beatles, dan aku tidak begitu paham. Hanya tergambar di kepalaku band itu selalu membuat para gadis jaman itu menjerit histeris. Pernah juga aku mendengar Presiden Soekarno melarang karya-karya Beatles beredar di Indonesia, Ngak Ngik Nguk katanya. Lagu-lagu barat dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Negara rupanya berhak mengatur selera musik rakyat yang mereka tindas. Pemerintah waktu itu, seperti sering dihimbau dalam suratkabar Harian Rakyat milik Partai Komunis Indonesia (PKI), masyarakat diminta menyerahkan piringan hitam Beatles atau musik barat lainnya secara sukarela. Rasanya tidak ada pemuda pecinta rock n’ roll yang rela menyerahkan piringan hitamnya.

Pemerintah Orde Lama paling paranoid soal musik. Koes Bersaudara, misalnya, harus masuk bui karena nekad membawakan lagu I Saw Her Standing There. Dalam acara itu, keributan terjadi, atap di tempat konser dilempari batu oleh orang-orang yang katanya pendukung revolusi Soekarno yang anti kapitalis.

Kejatuhan Soekarno memberi nafas bagi musik rock di Indonesia. Di masa-masa kebangkitan ini, Koes Plus merekam dan merilis Deg Deg Plas (1969). Album ini tidak terlalu sukses penjualannya karena masyarakat masih trauma dan belum bisa menerima lagu-lagu dengan jenis seperti itu. Beberapa lagu dalam album Deg Deg Plas di antaranya seperti Manis dan Sayang, Derita, Awan Hitam, Kembali Ke Jakarta, atau Cintamu Telah Berlalu, yang kemudian justru populer bahkan hingga kini, meski harus mengalami penolakan terlebih dahulu sebelum publik bisa menerimanya.

Tersebutlah seorang pemuda kelahiran Tuban, Jawa Timur, pada 19 Januari 1936 bernama Koestono Koeswoyo. Putera dari seorang pegawai negeri di Departemen Dalam Negeri ini begitu tertarik pada musik rock n’ roll yang sedang mengila di Barat sana. Tony Koeswoyo, begitu orang mengenalnya, lalu mengajak saudara-saudaranya yang laki-laki untuk membentuk band keluarga. Tony setidaknya pernah bermain band bersama kawan-kawannya dalam grup Teruna Moeda, yang salah satu personilnya adalah Sopan Sophiaan, mantan fungsionaris PDI-P dan anggota DPR.

Band itu kerap mendapat job menggung. Kendati bayarannya tidak seberapa, namun mereka sudah senang bisa pentas selain bisa makan gratis dalam pesta-pesta remaja yang kerap mengundang mereka tampil. Namun, band itu juga tidak tanpa usaha. Mereka juga berusaha menyambangi sebuah perusahaan rekaman. Nama besar yang terlibat dalam rekaman itu adalah Jack Lesmana, ayah Indra Lesmana dan Mira Lesmana.

Bagi Tony Koeswoyo, musik adalah hidupnya, meski pada awalnya bukan sebagai mata pencaharian yang menjanjikan (Tony sempat bekerja di Perkebunan Nusantara). Tony terus melangkah bersama band-nya yang berubah nama dari Koes Bersaudara menjadi Koes Plus. Dua adik Tony, Yon dan Yok tetap bersamanya. Abang mereka, Jhon, yang pernah ikut dalam band, belakangan tidak ikut lagi. Namun Jhon merelakan sebagian gajinya dipakai untuk membeli peralatan bermusik. Jhon, seperti juga ibu mereka, sering menjadi sasaran omelan Koeswoyo yang tampak tidak rela anak-anaknya bermain band karena masa itu menjadi musisi tidak akan bisa hidup mapan.

Tony memimpin adik-adiknya dan anggota baru mereka Murry dalam Koes Plus. Band ini kemudian menjadi legenda musik Indonesia. Mereka berjaya pada kurun 1970-an dengan lagu-lagu yang easy listening dan sederhana. Musik yang diusung Koes Plus menjadi pelopor perkembangan musik pop setelah kejatuhan Soekarno. Tony dan saudara-saudaranya harus merasakan penjara karena kegilaan mereka ini. Meski Koes Plus tidak nge-rock di tahun 1970-an, tetapi mereka seperti menjadi pembuka lembaran baru bagi perkembangan musik rock tanah air lewat album Deg Deg Plas -yang oleh sebagian pihak dianggap gagal dari sisi penjualan namun memiliki beberapa lagu pop yang legendaris.

Apapun musik yang diusung Tony Koeswoyo, sangat munafik jika menggeser namanya dari jajaran tokoh musik rock tanah air. Perjuangan Tony yang kerap mengusung lagu-lagu The Beatles diawal karir musik adalah usaha berani yang membuat mereka harus di bui di penjara Glodok.

Aku ingat lagi di tempat ayahku tinggal sekarang, piringan hitam Deg Deg Plas itu masih ada. Lagu-lagu mereka masih nyaman didengar. Omongan kawan-kawan sekolahku yang mencela seperti juga lagu-lagu lama, termasuk karya Koes Plus, adalah ketinggalan zaman, kuanggap hanya sebagai omong kosong. Laiknya anak kecil, mereka hanya tahu bahwa yang terbaru adalah yang terbaik. Musik adalah masalah selera. Setiap penikmat musik punya ukuran sendiri mana musik yang bagus. Anak kecil hanya bisa bilang musik terkinilah yang terbaik.

Album gagal dalam penjualan tidak selamanya buruk dari sisi musikalitas. Entah apa yang dipikirkan Tony. Orang pada masa itu boleh saja memasukan rekaman mereka ke tong sampah. Sekarang album yang katanya dulu tidak laris itu masih kerap diputar, walau semakin jarang yang memutarnya sekarang ini karena orang lebih “menyukai” lagu-lagu baru biar tidak ketinggalan jaman, kata mereka. Bagaimanapun, Tony Koeswoyo, Koes Bersaudara, serta Koes Plus menjadi salahsatu matarantai dalam perkembangan msuik pop tanah air hingga seramai dan beragam seperti sekarang ini.*
(P.M)

1 komentar:

  1. selamat atas Louncing Deg Deg Plas Semarang bersama Mas Mury 06 Desember 2009 di Wonderia Semarang Semoga Sukses Salam Jiwa Nusantara (Kusdiyanto Comunitas Amelinda Yogya )

    BalasHapus