Senin, 29 September 2008

Soneta Soepratman untuk Bangsa



“Indonesia Raya, lagu kebangsaan yang agung namun gagah berani. Maestoso con bravura!”
Jozef Cleber, Musisi Senior Belanda

Oleh Iswara N Raditya

SEMUA ORANG
terdiam saat syahdu biola terdengar membelah kesunyian. Gesekan dawai yang menggetarkan nurani itu memainkan partitur pembuka sebelum setiap mulut di ruangan itu serempak membuka, mengumandangkan syair heroik dengan penuh perasaan. Ada yang menitikkan air mata haru, ada pula yang menyanyikan soneta itu dengan luapan semangat, juga ada yang cuma menggumam sembari memejamkan mata, menghayati bait demi bait yang dilantunkan. Aransemen lagu itu memang dahsyat, bak pantun berantai (seloka) yang dirangkai nyaris persis ketika Empu Walmiki merajut epos legendaris Ramayana.

Seorang muda berkacamata dengan baju dan peci lurik berdiri di deretan paling depan, menghadap para hadirin yang terhanyut oleh syair-syair bernada patriotik itu. Tangan-tangan lihai lelaki duapuluhlima tahun itu memainkan biolanya dengan merdu. Itulah dia, Wage Roedolf Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya, suara kebangsaan yang untuk pertamakalinya diperdengarkan di hadapan publik pada malam penutupan Kongres Pemuda ke-II 1928 di Jakarta. Lagu Indonesia Raya menyempurnakan tiga ikrar para pemuda yang bermufakat untuk bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu: Indonesia.

Beberapa hari kemudian, di halaman utama suratkabar Sin Po, koran Tionghoa yang pro terhadap pemikiran Indonesia, berita tentang Sumpah Pemuda telah tercetak dan beredar. Teks Indonesia Raya pun terpampang dengan jelas. Sebuah tindakan yang cukup berani yang dilakukan media massa pada masa itu. Bahkan, Sin Po adalah satu-satunya koran pada kurun tersebut yang dengan gamblang dan terang-terangan memakai kata “Indonesia” di halaman pertama sebagai rubriknya. Tampaknya, bagi Sin Po, jauh lebih baik membantu Indonesia daripada bertekuk lutut di hadapan Belanda. Keberanian Sin Po tentu saja berpengaruh terhadap pemuda-pemuda Indonesia yang saat itu sedang bergelora untuk meleburkan diri dalam persatuan, termasuk pada diri Soepratman yang bekerja untuk suratkabar itu.

Waktu berhitung mundur sampai pada titik tahun 1903. Hari itu tepat pasaran Wage, pada bulan Maret di tahun ketiga pertama abad ke-20, Soepratman mulai menatap dunia. Bapaknya yang seorang mantan tentara KNIL berpangkat sersan, Jumeno Senen Sastrosuharjo, menambahkan nama anak ketujuhnya itu sesuai dengan hari pasaran lahirnya, inilah Wage Soepratman. Saudara sekandung Wage Soepratman ada enam orang: seorang kakaknya lelaki, yang lain adalah perempuan.

Masih terjadi perdebatan mengenai tanggal dan tempat lahir Soepratman. Versi yang diyakini selama ini adalah ia lahir tanggal 9 Maret 1903 di Jatinegara Jakarta. Bahkan, sejak 2003 pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, setiap tanggal 3 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Sementara itu, Dwi Rahardja, seorang peneliti dan pembuat film dokumenter tentang WR Soepratman, melakukan penelusuran sejarah untuk merekonstruksi fakta yang sebenarnya.

Sang peneliti itu berinisiatif mencari keterangan dari orang-orang terdekat Soepratman, antara lain kakak kandung dan adik tiri Soepratman, Roekijem Soepratijah dan Oerip Soepardjo. Alhasil, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya sepanjang 28 tahun, akhirnya disimpulkan bahwa WR Soepratman lahir pada 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo (Jawa Tengah). Dua bulan kemudian, pada Juni 1903, jabang Wage di dibawa ke Tangsi Meester Cornelis Jatinegara di Batavia, tempat bertugas sang bapak.

Setelah menamatkan sekolah dasarnya di Batavia, pada 1914 Soepratman ikut kakak perempuannya, Roekijem, ke Makasar, Sulawesi Selatan. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik, seorang indo anggota tentara Belanda. Oleh kakak iparnya inilah, nama Wage Soepratman diberi tambahan Rudolf, menjadi Wage Rudolf Soepratman atau yang sering dikenal sebagai WR Soepratman.

Di Makasar, Soepratman masuk ke sebuah sekolah malam untuk memelajari bahasa Belanda, di samping juga sekolah reguler di Europees Lagere School (ELS). Setelah lulus ELS, Soepratman melanjutkan studinya ke Normaal School. Pada usia 20 tahun, ia menjadi pengajar di sekolah untuk pribumi atau Sekolah Angka Dua. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar. Soepratman lantas menuju kota Singkang untuk bekerja di sebuah perusahaan dagang. Namun, tidak lama ia merasa tidak betah lalu minta berhenti dan kembali ke rumah kakaknya di Makasar.

Minat Soepratman pada dunia musik termotivasi dari Roekijem dan suaminya. Kakak perempuannya itu memang menggemari sandiwara dan musik, khususnya memainkan biola. Seringkali Roekijem dan Willem van Eldik serta beberapa teman tentaranya mengadakan pertunjukan teater alakadarnya di mes militer. Lingkungan seni inilah yang membuat Soepratman jadi menyukai musik. Ia mulai banyak membaca buku-buku tentang musik dan berlatih biola di bawah panduan Roekijam dan suaminya.

Di Makasar inilah, pada 1920 Soepratman memimpin grup band dengan nama Black & White, yang bisa dibilang salahsatu perintis aliran jazz pertama di Indonesia, bahkan di dunia karena band Soepratman ini berkurun tak jauh beda dengan masa mulai dikenalnya musik jazz di dunia global. Saban malam minggu, Soepratman beserta band-nya memainkan jazz untuk mengiringi dansa tuan dan nyonya Belanda yang sedang menikmati libur akhir pekan.

Tahun 1924, Soepratman kembali ke Jatinegara Batavia. Pada suatu hari, ia membaca sebuah artikel di majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Soepratman yang sudah semakin kental jiwa nasionalismenya merasa tertantang. Menulis lirik Indonesia Raya dalam bahasa Melayu yang baik tentulah merupakan tantangan besar bagi Soepratman.

Sekalipun pernah menjadi guru dan kemudian bekerja sebagai wartawan, Soepratman lebih lancar berbahasa Belanda daripada bahasa Melayu. Ini adalah kenyataan yang dihadapi semua tokoh pemuda Indonesia ketika itu. Pada Kongres Pemuda ke-II yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928, ternyata tidak semua tokoh pemuda dapat berpidato dalam bahasa Melayu. Mereka terpaksa memakai bahasa Belanda yang secara sukarela diterjemahkan oleh Mohammad Yamin dari perkumpulan pemuda Jong-Sumatera ke dalam bahasa Melayu. Maklum, hanya pemuda Sumatera yang ketika itu fasih berbahasa Melayu. Pada masa itu, bahasa Melayu belum menjadi bahasa terpopuler di Hindia Belanda, karena memang dikondisikan demikian oleh pemerintah kolonial. Bahasa Belandalah yang utama. Tak heran, jika para pemuda Indonesia lebih menguasai bahasa Belanda ketimbang bahasa anak negerinya sendiri.

Soepratman menjawab tantangan itu. Sejak itu, ia mulai belajar menggubah lagu. Dengan segenap pendalaman yang serius, akhirnya ia berhasil merangkai kata-kata yang penuh pujian dan kemuliaan. Dan jadilah lirik lagu Indonesia Raya. Hebatnya lagi, syair Indonesia Raya hanya sekali mengalami revisi pada tahun 1944 oleh sebuah panitia yang memersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia (PPKI), dan hingga kini tidak pernah diubah lagi. Sedangkan aransemennya sempat dipercantik oleh musisi Eropa kenamaan, Jozef Cleber, atas permintaan Presiden Soekarno, pada akhir 1950.

Naluri kebangsaan Soepratman kian menumbuh tatkala ia pindah ke Bandung pada 1924 dan menjadi wartawan suratkabar Kaoem Moeda. Di koran itu, Soepratman ikut memerjuangkan cita-cita bangsa dalam bidang komunikasi massa lewat kemahirannya bermain biola dan mencipta lagu. Soepratman juga pernah bekerja untuk suratkabar Sin Po. Selama menjadi jurnalis, Soepratman juga belajar menulis. Selain lewat nada, rasa tidak senangnya terhadap kolonialisme dituangkannya dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa. Buku yang mengandung nilai-nilai nasionalitas dan menyinggung pemerintahan kolonial Belanda itu akhirnya disita dan dilarang beredar.

Pada 1924 itu pula, lahirlah lagu Indonesia Raya. Lagu inilah yang kelak setelah Indonesia merdeka ditahbiskan sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia. Pemerintah kolonial tentu saja terkaget-kaget mendengar lagu ciptaan Soepratman. Bagaimana mungkin bangsa yang belum merdeka sudah memunyai lagu kebangsaan? Belanda tidak suka melihat pribumi menjadi satu, mereka lebih senang dengan kaum bumiputera yang terpisah-pisah ke dalam beberapa golongan suku. Pemerintah kolonial lebih nyaman melihat adanya suku Jawa, Sunda, Madura, Batak, Ambon, ataupun Minahasa ketimbang mengetahui mereka ini sudah menjadi satu kesatuan bangsa yang utuh yang menamakan diri mereka sebagai bangsa Indonesia.

Lahirnya ikrar Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya dianggap sebagai biang keladi pemersatu kaum pribumi, apalagi dalam lirik lagu itu termuat kata-kata “merdeka”, dan pihak kolonialis sangat alergi dengan itu. Pemerintah semakin murka karena ternyata lagu Indonesia Raya dengan cepat menjadi sangat populer di kalangan kaum intelektual pribumi dan seolah menjadi mantra sakti yang wajib dinyanyikan setiap mereka mengadakan pertemuan. Belanda ketakutan apabila semangat nasionalisme bangsa yang dijajahnya kian mewabah. Oleh karena itu, pemerintah pun memberlakukan aturan yang cukup ketat terhadap lagu Indonesia Raya. Belanda lantas melarang kata “merdeka, merdeka!” yang terdapat dalam refrein lagu Indonesia Raya dan mengancam akan memberikan hukuman berat bila aturan ini dilanggar.

Pemuda juga dilarang menyanyikan lagu itu dengan berdiri atau di tempat umum. Lagu itu juga ditolak sebagai lagu kebangsaan (volkslied) serta diturunkan derajatnya menjadi lagu perkumpulan (clublied). Meskipun demikian, para pemuda tidak gentar. Mereka menyiasatinya dengan kata pengganti, “mulia, mulia!", bukan "merdeka, merdeka!". Para aktivis perjuangan itu tetap saja menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan. Dan mereka tetap menyanyikan lagu itu pada setiap rapat-rapat politik.

Ditelisik dari susunan liriknya, lagu Indonesia Raya adalah suatu bentuk soneta atau sajak empatbelas baris yang terikat dalam satu pikiran dan perasaan yang bulat. Soneta ini terdiri dari satu oktaf (kumpulan delapan nada berturut-turut dengan dua kuatren yang masing-masing bait terdapat empat larik (puisi empat seuntai). Dengan ciri ini, Indonesia Raya sangat pas dinyanyikan dan dimainkan oleh masing-masing enam penyanyi dan enam pemain musik alias satu sekstet. Penggunaan bentuk ini dilihat sebagai avabt grade alias "mendahului zaman", kendati soneta sendiri sudah populer di Eropa.

Indonesia Raya lebih berirama mars (tempo di marcia). Pada partitur aslinya, WR Soepratman menuliskan tanda irama khusus pada ciptaannya itu. Soepratman menulis,” Oepatjara. Djangan terlaloe tjepat!”. Artinya, lagu ini tidak akan bermakna jika dimainkan dalam tempo yang terlalu cepat karena di sinilah letak kekuatan magis lagu Indonesia Raya. Karena pada waktu penciptaannya terkendala oleh keterbatasan teknologi, lagu Indonesia di masa awal, didengar dari kesan iramanya, terasa kurang greget. Hal itu wajar karena fasilitas alat musik untuk memainkannya pun masih sangat sederhana. Maka itu, kepada Josef Cleber, Bung Karno meminta agar aransemen Indonesia Raya dipoles menjadi lebih menggetarkan jiwa. "Harus ada bagian yang liefelijk, yaitu pada bagian sebelum refrain. Refrainnya sendiri harus meledak agar menciptakan klimaks," pinta Bung Karno. Namun, untuk menjaga makna asli dan orisinalitas Indonesia Raya, Bung Karno mewanti-wanti Josep, “"Indonesia Raya itu seperti Bendera Merah Putih. Tidak perlu diberi renda-renda lagi."

Josep Cleber memahami apa yang diinginkan Bung Karno. Bagian liefelijk (mendayu-dayu), yaitu empat baris sebelum refrain, didekati dengan dominasi alat-alat gesek seperti biola dan cello. Sedangkan untuk menciptakan efek gelegar pada refrain, Cleber memasukkan unsur simbal, timpani, dan terompet yang sangat gagah. Alhasil, sempurnalah lagu Indonesia Raya sebagai layaknya lagu kebangsaan negara seperti yang sering diperdengarkan sekarang.

Kehidupan sehari-hari Soepratman jauh dari layak. Ia tidak cukup banyak memunyai pakaian yang pantas dikenakan untuk menghadiri rapat-rapat politik. Pantalonnya yang dibikin dari kain berwarna putih sudah menjadi agak hitam. Di sana-sini terlihat rombeng, kain itu sudah kian menipis karena saking seringnya dipakai. Soepratman tak kuat membeli baju di tempat yang pantas dan lebih memilih berbelanja pakaian bekas di Pasar Senen. Rumahnya pun cuma berupa gubug reyot. Upahnya sebagai wartawan nyaris tak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan yang primer, untuk makan sehari-hari. Ia wajib bekerja keras mencari berita hingga ke pelosok-pelosok Batavia. Tak ada berita berarti tak makan.

Tetapi, di balik segala kemelaratan dan kenestapaannya, WR Soepratman dengan gemilang mampu menciptakan lagu-lagu andalan bagi bangsa. Selain mahakaryanya Indonesia Raya, Soepratman sukses pula membikin lagu-lagu legendaris lainnya, salah satunya adalah lagu Ibu Kita Kartini. Ia juga menjadi aktor utama terciptanya lagu-lagu mars partai-partai pergerakan, seperti Mars-PBI, Mars-KBI, serta Mars-Suryawirawan. Lagu-lagu Soepratman pada saat itu sangat populer di kalangan aktivis pergerakan karena sangat bernafaskan semangat perjuangan. WR Soepratman juga pernah tercatat sebagai anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), juga Partai Indonesia Raya (Parindra).

Inilah jasa utama WR Soepratman bagi pembentukan negara Indonesia. Soepratman adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang mampu menggelorakan semangat kebangsaan rakyat lewat musik. Jika lazimnya pejuang pergerakan memantik nasionalisme rakyat melalui pidato, tulisan, citra personal, ataupun aksi-aksi politik, Soepratman berhasil membuka mata dan hati rakyat dengan kejeniusannya mencipta lagu yang mampu menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka harus bergerak menuju kemerdekaan atas nama satu bangsa.

Pada masa pendudukan Jepang yang mulai menjajah Indonesia sejak 1942, lagu Indonesia Raya juga dilarang dinyanyikan. Baru pada 18 Agustus 1945, tujuhbelas tahun setelah diciptakan, Undang-undang Dasar 1945 memutuskan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia. Sayang, Soepratman telah meninggal dunia tepat delapan tahun sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu kebangsaan yang menggelorakan itu, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda.

Kondisi kesehatan Soepratman mulai melemah sehingga ia dibawa ke rumah orangtuanya di Cimahi untuk menjalani perawatan dan istirahat. Tak lama kemudian, Soepratman yang sudah kepayahan diboyong ke Surabaya ke rumah salah seorang kakak perempuannya. Kendati sudah teramat parah, semangat Soepratman untuk terus berjuang tiada pernah redup. Di Surabaya inilah ia bergabung dengan Parindra bersama Dr Soetomo. Maut semakin dekat mengintai Soepratman ketika ia baru saja selesai menciptakan lagu terakhirnya yang bertitel Matahari Terbit. Pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama bersama para pemuda di Jalan Embong Malang-Surabaya. Kemudian Soepratman dipenjarakan di rumah tahanan Kalisosok Surabaya.

Wage Rudolf Soepratman meninggal dunia tanggal 17 Agustus 1938 pada umur tigapuluhlima tahun karena sakit, kemungkinan sakit syaraf atau paru-paru. Soepratman rela mengorbankan dirinya demi bangsa dengan wafat pada usia muda, mendahului para seniornya. Soepratmanlah musisi muda Indonesia yang utama. "Harus saya akui, saya menitikkan air mata ketika membaca bagian yang mengisahkan akhir hayat Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan kita. Saya terharu, betapa orang sebesar dia harus mengakhiri hidupnya dalam kesepian dan kesengsaraan. Hidupnya sungguh tidak seindah lagunya," kenang Bung Karno salut.(Iswara NR, baca juga di: bataviase.wordpress.com)




selengkapnya >>>

KebesaranFarid Hardja


Oleh Iswara N Raditya

MULANYA ia muncul berciri khas kepala botak dengan rambut lumayan tebal di sisi atas, kanan, dan kirinya. Kacamata yang dikenakannya diusahakan semirip mungkin dengan Elton John yang sedang jaya-jayanya di perjalanan dekade 1960-an itu. Beberapa tahun kemudian, penampilannya berubah, rambutnya kini menggumpal alias kribo. Metamoforsa itu terus berlanjut hingga akhirnya ia identik sebagai penyanyi tambun dengan pakaian seperti jubah besar bermotif warna-warni, persis seperti beragam jenis musik yang dijajalnya: dari rock n roll, jazz, balada, pop, disko, reggae, hingga dangdut.

Musisi bertubuh besar ini memang luarbiasa. Kreativitas dan inovasinya tak pernah mati, produktivitasnya tak perlu diragukan lagi. Ia selalu bisa berkelit dari ketertinggalan zaman, senantiasa bergerak dinamis mengikuti selera penikmat musik tanah air. Si orang besar nan gesit ini nyaris selalu menghasilkan karya saban tahun, sejak album pertamanya rilis pada 1977 hingga pungkasan hidupnya. Sejalan badannya yang tambun, otaknya pun rimbun dijejali banyak ide kreatif untuk tetap bisa bertahan, bahkan meraja. Hebatnya lagi, setiap album yang ia keluarkan selalu menjadi hits dan populer di ranah permusikan Indonesia. Sekali lagi, ia adalah pemusik yang senantiasa berubah, tak canggung untuk selalu bermetamorfosa agar tetap layak jual dan layak dengar. Dialah Farid Hardja yang pernah menjadi raksasa di dalam industri musik Indonesia.

Tahun 1966, kondisi perpolitikan dalam negeri sedang mencium aroma keguncangan. Masa pancaroba kekuasaan
dari Soekarno ke Soeharto lagi hangat-hangatnya berproses. Di sisi lain, terjangan musik Barat kian merangsek ke dalam rusuk ibu pertiwi. The Beatles salahsatu penyebabnya. Nyaris semua anak band di tanah air tergila-gila pada kepopuleran band asal Liverpool ini. Kedigdayaan Soekarno –yang sangat anti imperialisme, termasuk Inggris dengan The Beatles-nya– mulai meluruh pasca tragedi Gerakan 30 September 1965 dan itu membuka pintu lebar-lebar bagi para musisi pribumi untuk memamah habis arus musik global yang kian menyodok naluri kreasi.

Dalam kondisi seperti itu, Farid Hardja keluar dari sarangnya, memulai karirnya sebagai pelaku musik dengan lebih profesional pada kisaran 1966 itu. Di Bandung, Farid bergabung dengan grup De Zieger yang mengusung aliran rock n roll dengan acuan The Rolling Stones. Lama memersiapkan diri untuk berkembang di kota kembang, musisi subur yang kala itu masih berambut kribo tersebut mantap hijrah ke Jakarta. Di ibukota, Farid menjajal kemampuan musikalnya bersama beberapa band rock, sebut saja Cockpit dan Brotherhood pada 1974 serta Brown Bear pada 1975.

Hanya sebentar mengadu nasib di Jakarta, pada 1976 Farid memutuskan pulang kampung ke Sukabumi, tempat di mana ia dilahirkan pada 1950. Namun ia hanya tak diam. Farid bersiasat membentuk kelompok yang dominan memainkan musik rock and roll, R & B, serta country. Nama grup ini bercorak lokal, sederhana dan mudah diingat serta jauh tren band-band lokal kala itu yang getol memakai nama asing. Bani Adam, begitulah Farid memberi nama kelompok barunya itu. “Karena kita semua adalah umat Nabi Adam. Sebagai manusia, kita harus paham asal usul kita,” demikian alasan Farid.

Bersama Bani Adam, karir Farid sebagai pelakon hiburan mulai menggelembung. Tahun 1977, perusahaan rekaman terkemuka Jackson Records & Tapes berkenan mencoba kebolehan Bani Adam dalam bermusik. Meluncurlah album perdana Bani Adam dengan lagu andalan Karmila. Lagu ini segera menjadi primadona dan melesatkan populeritas Farid. Enggan berlama-lama, di tahun yang sama Bani Adam menggelontorkan album kedua dengan judul Special Edition dengan hitsnya Ikan Laut pun Menari di Bawah Lenganmu. Setelah itu laju Farid tak terbendung lagi. Tercatat, dari tahun 1977 hingga 1998, Farid selalu mengeluarkan album –kecuali pada 1989– bahkan ada yang lebih dari satu album di setiap tahunnya. Lagu-lagu Farid banyak yang menjadi hits.

Namun ada ganjalan. Di masa-masa awal peluncuran albumnya, setidaknya sampai album kedua, Farid sangat kentara mencomot karya milik musisi luar negeri. Intro lagu Karmila, misalnya, ternyata begitu mirip dengan intro lagu kepunyaan grup band Boston yang berjudul Peace of Mind. Sedangkan lagu Ikan Laut di album kedua, Farid dituding menyalin-ulang lagu Lyin’Eyes milik The Eagles. Yang tak berubah adalah corak suara Farid yang serak-serak berat dan menggelegar. Jenis vokal Farid termasuk langka, jarang dimiliki penyanyi lokal. Menyadari kondisi yang mengancam geraknya, Farid buru-buru menklarifikasi kekeliruannya. “Saya mengakui kesalahan konyol itu, menjiplak lagu milik orang. Tapi saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” janjinya.Ternyata publik memaafkan Farid dan karirnya terus menggelinding nir tanding.

Seiring penampilan panggungnya yang senantiasa berubah, dalam hal mencipta-karya pun Farid juga tak mau monoton. Ia selalu menggaet musisi berbeda di tiap-tiap albumnya, dari Eddy Manalief, Dodo Zakaria, hingga Lucky Resha. Farid teramat peka dalam membaca selera pasar sehingga musisi yang diajaknya berkolaborasi disesuaikan dengan tren musik pada tiap-tiap tahunnya. Maka tak heran jika lagu-lagu ciptaannya selalu laku di saban waktu. Lagu-lagu seperti Karmila (1977), Bercinta di Udara (1983), Ini Rindu (1992), sampai Partai Sembako (1999), adalah karya abadi Farid yang mewakili era dengan masing-masing selera musiknya.

Selain itu, dilihat dari judulnya, kepekaan Farid terhadap gejala dan fenomena yang sedang dekat dengan masyarakat, teruji mumpuni. Lagu Bercinta di Udara meluncur ketika orang sedang getol berkomunikasi lewat jaringan radio di era 1980-an, atau lagu Partai Sembako sebagai semacam pernyataan sikap Farid atas kondisi perpolitikan yang carut-marut di masa transisi pasca tumbangnya Soeharto dengan menjamurnya munculnya partai-partai politik dan mahalnya harga barang-barang kebutuhan pokok. Masih banyak lagu Farid yang sesuai dengan apa yang sedang terjadi di masa itu, baik lingkup nasional maupun kejadian besar berskala global dunia.

Bermusik bareng maupun solo bukan masalah bagi Farid. Namun yang paling mengagumkan adalah ketika ia membangun duet –dengan penyanyi dari genre apapun– yang dapat dipastikan terlihat perpaduan harmonis antara Farid dan tandemnya. Berpasangan dengan rocker handal seperti Ahmad Albar atau Gito Rollies, atau ketika berduet dengan biduan pop romantis semisal Euis Darliah atau Endang S Taurian, Farid mampu menempatkan dirinya dengan baik. Bahkan saat didampingi pedangdut macam Anis Marsella atau Mery Andani, juga mencoba ranah baru di aliran pop disko dengan sedikit sentuhan reggae dan rap bersama penyanyi pendatang baru Lucky Resha, lagu-lagu Farid masih tetap digemari. Di sinilah letak kelihaian Farid Hardja sebagai sang penghibur sejati.

Tak hanya seni suara, di bidang seni peran pun Farid ternyata cukup ulung. Beberapa film layar lebar sempat dicicipinya, sebut saja film Tante Sundari (1977), Bandit Pungli (1977), Sayang Sayangku Sayang (1978), dan Ini Rindu (1991). Dua judul yang disebut terakhir bisa dikatakan film biografi Farid Hardja di mana lagu-lagu ciptaannya juga menjadi salahsatu penghias utama sinema tersebut. Selain sebagai pemeran utama, Farid juga merangkap selaku penata musiknya.

Farid Hardja menghembuskan nafas penghabisan pada 27 Desember 1998 dalam usia 48 tahun. Hingga di ujung maut pun ternyata sang bintang enerjik ini masih menyisakan tiga album yang belum sempat dirilis namun sudah siap edar. Ketiga album yang memang direncanakan akan diluncurkan pada 1999 tersebut adalah Live Disko (Partai Sembako), Farid & Barbie (Cut Cut Cut), dan Disko Dangdut (Obat Cinta). Seakan tiada kehabisan luapan gagasan, almarhum sebenarnya juga masih memiliki beberapa rencana lainnya, antaralain memproduksi sebuah acara televisi, sejumlah rekaman, dan keinginannya menampilkan karya-karya di atas panggung dalam pagelaran khusus. Memang, pesohor yang satu ini sangat layak diacungi jempol untuk kualitas, produktivitas, dan terutama kreativitasnya di ranah hiburan. (Iswara N Raditya)


selengkapnya >>>