Kamis, 17 Januari 2008

Bang Ben Ngerock!

Oleh
Petrik Matanasi


ANAK MUDA
jaman sekarang mungkin hanya mengenal Benyamin Sueb sebagai pelawak dari film-film komedinya produksi dekade 1970-an, yang sering diputar televisi. Banyak yang kurang mengenal sebagai musisi rock pada jamannya. Orang lebih mengenal Benyamin sebagai musisi tradisional dengan gambang kromong Betawi-nya.

Benyamin memang menjadi legenda dunia hiburan dan panggung komedi Indonesia. Dia juga telah menjadi inspirasi dan panutan, bagi seniman muda Indonesia. Kiprah Benyamin sebagai musisi rock n’ roll pada paruh kedua dekade 1960-an seperti terlupakan, padahal lagu Kompor Mledug terbilang dahsyat sebelum God Bless dan raksasa rock tanahair lainnya muncul dalam kancah musik rock Indonesia.

Wajah Benyamin kerap hiasi layar kaca Indonesia tahun 1970-an. Film Benyamin umumnya adalah genre komedi. Film Benyamin mendapat tanggapan positif publik. Film Intan Berduri yang dibintanginya mendapatkan Piala Citra pada 1978. Benyamin juga pernah memerankan tokoh Doel dalam Si Doel Anak Modern bersama rocker Ahmad Albar.

Benyamin juga pernah merintis karir sebagai musisi sebelum terjun ke dunia film pada 1970-an. Benyamin pernah memainkan gambang kromong hingga rock n’ roll. Di dunia musik Benyamin cukup cemerlang. Sebagai musisi rock Benyamin bisa dibilang sukses. Selama Orde Lama berkuasa, tidak akan ada Beatles, Bee Gees, Everly Brother dan musik lainnya, rock dilarang pada dekade 1960-an. Namun, Benyamin seolah melawan meanstream politik yang ada. Soekarno melarang lagu barat yang 'Ngak Ngik Ngok' seperti rock n roll. Orang Orde Lama bilang musik rock adalah musik setan. Seperti juga Koes Bersaudara, Benyamin juga pernah merasakan bui karena ideologi musiknya yang nekad membawakan lagu barat.

Lagu rock n roll paling sukses dipasaran yang dibawakan Benyamin adalah Kompor Mledug. Lagu ini keluar dipasaran setelah musim anti rock n roll baru saja berlalu. Aransemen lagu ini bisa dibilang ngerock pada tahun perilisannya, dengan iringan organ dan sound drum yang unik. Mungkin saja arransemen lagu ini tergolong mutakhir pada zamannya. Tentu saja aransemen lagu ini dipengaruhi langsung musik rock n roll dari luar. Lagu ini seperti judulnya juga mledug di pasaran.

Lagu Kompor Mledug memiliki persamaan, walau tidak 100%, dengan lagu-lagu rock n roll yang diusung Naif selama beberapa tahun terakhir ini. Naif bahkan pernah bermimpi untuk berkolaborasi dengan Benyamin, namun Benyamin keburu meninggal. Mereka memiliki kecocokan, 'retro banget'.


Benyamin Sueb lahir di Kemayoran, Jakarta, 5 Maret 1939. Bang Ben memang sosok panutan. Kesuksesan di dunia musik dan film membuat namanya semakin melambung. Benyamin telah menghasilkan 75 album musik dan 53 judul film yang ia bintangi adalah bukti keseriusannya di bidang hiburan tersebut. Perhatian Benyamin pada gambang kromong, secara tidak langsung, mentasbihkannya sebagai maestro kesenian Betawi. Benyamin meninggal dunia pada 5 September 1995 akibat serangan jantung. (PM, lihat juga di: Istori van Nusantara.blogspot.com)

selengkapnya >>>

Sabtu, 12 Januari 2008

About A (Bad) Boy (1)




Oleh Iswara N Raditya

















“Aku sangat menginginkan seorang bapak, tapi malah mendapatkan seorang bapak. Aku benci ayah, aku benci ibu!”
Kurt Donald Cobain

MULANYA HANYA
seorang bocah pemimpi yang senang membual, sesosok pemuda tampan hasil cipta keluarga brokenhome. Sebelum perjalanan abad memasuki dekade 1990, iabukanlah apa atau siapa, bahkan nyaris tak dikenal sebagai sosok yang tak lama lagi akan membuat seisi semesta menoleh padanya. Kendati sudah mulai merambah dunia permusikan, kerja sehari-harinya cuma lontang-lantung, rutinitasnya liar, ngeband dan manggung sana-sini nir bayar, berbuat onar, hidup tak teratur, tiada berumah, serta gemar merepotkan orang lain! Tapi semua berubah ketika sebuah pembuktian yang dilakukannya berhasil membikin marcapada melongo, salut dengan populeritasnya –yang fenomenal sekaligus kontroversial– sekonyong-konyong menonjok langit, menghujam bumi, menggetarkan gempita musik Amerika sekalian internasional. Inilah kisah tentang seorang anak (nakal)!


Mencipta Lagu Sedari Balita


"Waktu masih kecil, Kurt begitu saja memainkan lagu yang didengarkan dari radio. Ia bisa menuangkan apa saja ke dalam pikirannya di atas kertas atau melalui musik"
(Kimberly, Adik Perempuan Kurt Cobain)

Kurt Donald Cobain dilahirkan pada 20 Februari 1967 di Aberdeen, Washington, AmerikaSerikat, dari pasangan Wendy dan Donald Cobain . Wendy adalah sosok ibu rumahtangga yang cukup ideal bagi Kurt dan adiknya yang lahir ketika Kurt berumur tiga tahun, Kimberly Cobain. Sedangkan Don, yang bekerja sebagai mekanik di sebuah bengkel, terkesan lebih kaku dengan tampilan kacamata klasik dan rambut klimisnya.

Kehidupan Kurt sedari bayi berjalan sangat wajar, bahkan terhitung bahagia dengan limpahan kasih sayang yang diberikan segenap keluarga b
esarnya. Menginjak usia dua tahun, secara fantastis Kurt kecil sudah memperlihatkan minatnya terhadap musik. Keluarga ibunda Kurt memang keluarga musisi: Chuck, kakak Wendy, tergabung dalam band Beachcombers; Mari, adik Wendy atau bibi Kurt, adalah pemain gitar; dan Delbert, paman Wendy, pernah berkarir sebagai penyanyi tenor Irlandia, bahkan sempat ikut bermain dalam film The King of Jazz.

Keluarga itu teramat takjub ketika Kurt kecil dengan lancar menyanyikan lagu Hey Jude milik The Beatles, Motorcycle Song dari Arlo Guthire, serta lagu tema film televisi The Monkees. Bahkan, sebelum umurnya genap 5 tahun, Kurt sudah mengarang lagu. “Aku begitu kagum, seharusnya kurekam dengan tape recorder. Mungkin itu akan menjadi lagu pertamanya,” kenang Mari saat mendengar keponakannya mencipta sepenggal lagu tentang perjalanan mereka seusai bermain.

Bakat seni Kurt sepertinya didukung de
ngan daya imajinasinya yang kuat. Ketika berumur 3 tahun, ia memiliki seorang teman khayalan bernama Boddah. Kurt sangat menyayangi kawan imajinernya itu. Dalam suatu kejadian, kala itu Kurt sedang bermain-main dengan tape milik bibinya, terdengar efek bunyi menggema. Kurt terkejut seraya berseru, “Suara itu bicara padaku? Boddah? Boddah?!”

Setelah beberapa waktu, orangtua Kurt menjadi cemas atas keterikatan puteranya terhadap sahabat yang tak berwujud itu. Seba
gai tindakan antispasi, mereka mengatakan kepada Kurt bahwa Boddah sudah tidak ada bersamanya lagi, ia telah dibawa seorang pamannya yang bertugas ke Vietnam. Namun sesungguhnya Kurt tidak benar-benar memercayai kata-kata orangtuanya itu.


Naluri Liar sang Seniman Belia



"Keahlian Kurt lainnya adalah menggambar setan, sosok yang selalu dia gambar dalam bukunya di setiap pelajaran." (Bill Burghadt, Kawan Sekolah Kurt Cobain)

Pada September 1972, Kurt memulai usia sekolahnya dengan masuk Taman Kanak-kanak Robert Gray yang berjarak tiga blok dari rumahnya. Bidang yang paling digemari dan dikuasainya adalah kelas seni, kala itu kemampuan artistiknya sudah luarbiasa: apa yang digambar Kurt seperti benar-benar tampak nyata. Tony Hirschman, kawan sekelas Kurt, berkata, “Dia bisa menggambar apa saja. Pernah kami melihat foto-foto werewolf (manusia serigala), kemudian Kurt menggambar seekor werewolf yang sangat mirip dengan fotonya.” Pada hari-hari libur atau hari ulang tahunnya, Kurt sering dihadiahi peralatan menggambar. Tak heran jika kamar Kurt lebih mirip studio lukis daripada sebuah ruang tidur seorang bocah berumur lima tahun.

Darah seni yang mengalir dari diri Kurt didapat dari neneknya, Iris Cobain. Iris sendiri adalah kolektor piringan hitam tentang memorabilia ilustrator/pelukis legendaris Norman Rockwell. Sang nenek sering mengajak Kurt melakukan kegiatan favoritnya, yakni mengukir sketsa gambar Rockwell dengan tusuk gigi pada jamur yang baru saja dipetik. Sedangkan sang kakek, Leland Cobain, tidak begitu berminat terhadap seni. Meskipun begitu, ia sering mengajari Kurt cara membuat kerajinan dari kayu.

Bakat Kurt menjalar ke ranah musik. Kurt, misalnya, bisa memainkan piano, mengiramakan nada-nada seder
hana yang baru saja masuk ke kupingnya. Ketika ibunya membelikan satu set drum mainan bergambar Mickey Mouse, Kurt kecil tak kenal lelah menabuh drum itu sekuat tenaga. Kurt juga senang menenteng gitar milik bibinya, Mari, dan akan memetiknya sambil mengarang-ngarang lagu. Kaset pertama yang dibeli Kurt adalah album Terry Jacks dengan singlenya yang terkenal, Seasons in The Sun. Selain itu, Kurt juga sangat senang melihat-lihat koleksi album musik milik bibi dan pamannya.

Kebahagiaan masa kecil Kurt terancam punah ketika mulai sering terjadi pertengkaran antara ayah dan ibunya, biasanya karena masalah finansial. Akhirnya, hal yang paling ditakuti Kurt datang juga. Pada 9 Juli 1976, pengadilan memutuskan perkara perceraian orangtuanya, dan hak asuh atas Kurt serta adiknya, Kim, jatuh kepada sang ibu, Wendy. Kelak, saat ayahnya, juga ibunya, masing-masing telah menikah lagi, Kurt benar-benar dalam kondisi limbung. “Aku benci ayah, aku benci ibu!” teriaknya. Kurt, yang berusia 11 tahun saat itu, mulai merasa bahwa orangtuanya yang pernah menjadi dewa-dewa bagi masa kecilnya, sekarang berubah menjadi tokoh-tokoh mati, pujaan palsu, dan tidak bisa dipercaya. Mereka meninggalkan trauma yang teramat dalam pada diri Kurt, bahkan hingga ia tumbuh dewasa.

Kembali ke sejarah bermusik Kurt. Sejak SD kelas 5, Kurt sudah mengambil kelas musik di sekolahnya. Dan ketika memasuki SMP Montesano pada September 1979, ia pun segera bergabung dengan grup drum band di almamaternya, dan termasuk pemain inti meski permainannya tidak begitu istimewa.

Kurt juga masih mempertahankan gairah melukisnya yang sudah ia punyai semenjak kecil, dan ia menjadi jagoan di kelas seni di sekolahnya. Dalam suatu kesempatan, Kurt diberi mandat untuk menggambar sampul depan majalah sekolahnya, Puppy Press, edisi hari Halloween. Kurt sangat bersemangat, ia melukis seekor anjing bulldog, lambang sekolahnya, sedang menguras isi sebuah kantong permen di kandangnya. Naluri liarnya sudah kentara kala itu dengan menyisipkan sekaleng bir yang agak tersembunyi di tumpukan permen.

Selain itu, Kurt juga lagi berhasrat mencipta gambar-gambar porno. Pernah suatu kali Kurt menggambar vagina, kendati ketika itu Kurt belum pernah berhubungan –bahkan hanya sekadar berpacaran– dengan perempuan secara intim. “Waktu itu, Kurt belum pernah melihat vagina secara langsung,” cerita Bill Burghadt, kawan sekelas Kurt. Keahlian Kurt lainnya, lanjut Bill, adalah menggambar setan, sosok yang selalu dia gambar dalam bukunya di setiap pelajaran.

Nalurinya semakin berkembang ketika usianya menginjak angka 14 tahun. Kala itu tahun 1981, Kurt mulai mencoba-coba membuat film-film pendek sendiri dengan kamera milik ayahnya. Suatu kali, ia pernah membikin film yang mengisahkan adanya sekelompok alien yang mendaratkan pesawatnya di halaman depan rumah kelurga Cobain.

Lain waktu, Kurt membuat film lagi, kali ini lebih sadis. Dalam film yang diberinya judul Kurt Commits Bloody Suicide itu, Kurt berakting memotong nadi pergelangan tangannya sendiridengan potongan kaleng minuman. Bersama seorang temannya yang bertugas mengambilgambar, film itu dilengkapi efek khusus, kendati alakadarnya, yakni darah buatan, dan Kurt memainkan sendiri adegan kematiannya secara dramatis! (Bersambung)

selengkapnya >>>

Kamis, 10 Januari 2008

Rock Cengeng AKA yang Abadi

Oleh Petrik Matanasi


PIRINGAN HITAMKU pernah memutar lagu bagus. Judulnya Jeritan Seniman milik band AKA yang dikomandani oleh Ucok “Kribo” Harahap. Melankolis memang, tapi itu lagu punya makna dalam untuk seniman yang sering diklaim bermasa depan suram. Lagu itu bisa dibilang cukup cengeng, lirik dan musiknya “ngeblus” (sedih, tapi bukan lagu yang menyedihkan secara kualitas).

AKA memang band aliran cadas Indonesia zaman retro dulu. Uniknya, lagu-lagu mereka yang kata orang "cengeng" kerap direquest di radio-radio yang memutar lagu-lagu lama, atau yang memiliki acara yang menyajikan lagu-lagu jaman dulu (jadul). Sebenarnya, sebagai band cadas memang diakui dengan aksi panggungnya yang cukup sarang zaman dulu, mungkin belum ada yang meniru kegarangan AKA di atas panggung.

AKA kependekan dari Apotik Kali Asin, apotik milik keluarga Ucok Harahap di Surabaya. Ucok Harahap, rocker kribo yang sekarang menyepi di kaki sebuah gunung di Jawa Timur, itu tidak lain otak dari AKA, vokalis yang juga memainkan organ. Personil AKA yang lain adalah Arthur Anez Kaunang -ayah artis Tessa Kaunang. Basis kidal itu lulusan sastra Inggris di sebuah PTN di Surabaya. Ada juga Sunata Tanjung yang memainkan gitar, yang cukup diakui kualitasnya, serta Syech Abidin bertugas menabuh drum.

AKA mengikuti perkembangan rock dunia. Awalnya mereka kerap memainkan lagu-lagu Jimi Hendrix. AKA seperti band rock lain juga menikmati jaman kebebasan musik rock di Indonesia, tidak seperti senior mereka, Koes Bersaudara, yang dibui oleh rezim penguasa Orde Lama.

Lagu-lagu AKA umumnya keras, apalagi yang berbahasa Inggris. Mereka juga memiliki lagu yang bisa dibilang komersil karena diminati masyarakat umum, yang mungkin saja tidak suka musik rock. Lagu Badai Bulan Desember, Seniman dan Biola, atau Jeritan Seniman masih sering direquest orang-orang yang pernah muda di dekade 1970-an. Dua lagu tadi bisa dibilang lagu cengeng.

Seperti umumnya kala itu, lagu AKA diiringi sound dari organ Hammond. Iringan itu, walau terkesan jadul bahkan kuno oleh anak jaman sekarang, lagu tadi menjadi semakin kuat karakternya, walau tidak sepopuler Whiter Shade of Pale milik Procol Harum yang sepertinya irama lagu itu menjiplak dari Air in G String-nya Johan Sebastian Bach. Sound Organ Hammond mungkin tidak saja dipakai oleh AKA, tapi juga band lain. Bagaimanapun sound itu seperti air abadi untuk band-band jaman dulu, termasuk Badai Bulan Desember, Seniman Dan Biola, dan Jeritan Seniman milik AKA. Do What you Like adalah album AKA yang cukup kesohor di negeri ini. Beberapa mereka berbahasa Inggris. Untuk ukuran Indoensia, beberapa lagu mereka cukup eksperimental juga, seperti apa yang dibuat Pink Floyd di belahan dunia lain.

Aksi panggung AKA cukup sangar. Seperti suatu kali di awal konser, Ucok pasang aksi atraktif dengan gantung diri. Konser AKA selalu ramai dipadati penggemar rock fanatik. Sejatinya, AKA patut disejajarkan dengan God Bless. Sayang, AKA tidak seeksis God Bless. AKA menghilang pada dekade 1990-an. AKA tinggal nama, tak lagi pentas. Namun, apa yang direkam AKA tak pernah mati. Lagu mereka, apalagi lagu-lagu cengeng, kerap diputar oleh penggemar atau radio yang masih gemar akan lagu-lagu lawas.

Pascavakumnya AKA, selain Ucok Harahap, tiga personil lain -Syech Abidin, Arthur Anez Kaunang, dan Sunata Tanjung- membentuk SAS yang merupakan kependekan dari nama mereka. Musik mereka tidak sekeras AKA namun cukup sukses di mata publik karena musik rock di dekade '80-an tidak lagi sekeras jaman sebelumnya, yang kendati menyebabkan pamor rock pada dekade itu sedikit menurun.

AKA membuat para personilnya jadi selebritis. Ucok Harahap pernah bermain dalam film-nya Rhoma Irama, Darah Muda, sebagai rocker bengal dengan geng motornya, sedangkan Rhoma tentu saja dapat peran jadi jagoan. Film tadi seperti memposisikan rock sebagai sebagai musik orang-orang bengal yang tidak memiliki kegiatan positif. Padahal ada rocker yang jadi astronom seperti Brian May, atau pengusaha yang cukup sukses semisal Ikang Fawzi, juga simak kegiatan Hary Mukti atawa Gito Rollies sekarang.

Hampir semua personil AKA belakangan menjadi orang-orang yang religius. Rock juga mengantarkan mereka menjadi itu secara tidak langsung. Ucok konon diberitakan menjadi paranormal. Mereka tetap berkesenian, namun tidak ngerock seperti dulu. Usia mereka tidak lagi cocok untuk membawakan lagu-lagu pemberontakan ala Rock. (Patrik Matanasi)

Gambar AKA diunduh dari: musiklawas.blogspot.com

selengkapnya >>>

Rabu, 09 Januari 2008

Freddie Mercury, Si “Melambai” Bersuara Emas


Oleh Lilih Prilian Ari Pranowo

Is this the real life
Is this just fantasy

Caught in a landslide

No escape from reality

(Bohemian Rhapsody, Queen/Freddie Mercury)


SIAPA TAK KENAL lagu-lagu semacam We Are The Champions, Bicycle, Bohemian Rhapsody, dan banyak hits Queen lainnya yang masih terkenal hingga kini? Ya, dialah Freddie Mercury, sang maestro pencipta lagu-lagu legendaris tersebut sekaligus dedengkot band Queen. Dengan nama asli Farrokh Bulsara, Mercury lahir pada 5 September 1946 di Stone Town, Zanzibar, dari pasangan Bomi dan Jer Bulsara.

Pada usia 8 tahun, Freddie dikirim ke India untuk masuk di Sekolah St. Peter’s, sekolah khusus anak lelaki di dekat Bombai. Di negeri Bolywood, Freddie yang mempunyai adik perempuan bernama Kashmira, tinggal bersama nenek dan bibinya. Kala sekolah di India itulah bakat musiknya sudah mulai kentara dan terasah. Bersama teman-teman sejawatnya, Freddie membentuk band sekolah bernama Hectics. Freddie sendiri memainkan piano dalam formasi band ini. Saat usianya 17 tahun, Freddie dan keluarganya hijrah ke Feltham, London. Di Inggris, ia seperti menemukan dunia baru. Freddie jadi kerap bergonta-ganti band, itulah yang memberikan banyak perubahan berarti dalam naluri bermusiknya.

Pada 1969, Freddie mendirikan sebuah band bernama Ibex, yang beberapa saat kemudian berganti nama menjadi Wreckage. Tak lama, band ini lantas membubarkan formasinya. Setelah Wreckage tutup buku, Freddie bergabung dengan band Milk Sea, kendati juga tak bertahan lama. Awal 1970-an, band ini bubar.

Baru pada April 1970, ketika bertemu seorang gitaris bernama Brian May dan Roger Taylor sang penabuh drum, Freddie seolah menemukan soulmate-nya dalam bermusik. Bersama kedua orang itu terbentuklah band bernama Smile, inilah cikal-bakal dari Queen. Belakangan baru terkuak rahasia nama Queen diambil lantaran Freddie adalah seorang gay. “I was certainly aware of the gay connotations, but that was just one facet of it,” ungkapnya.

Musikalitas Freddie terpengaruh dari pelbagai macam musik yang pernah didengarnya waktu kecil. Sebut saja, ia pernah mengidolakan Lata Mangeshkar, seorang penyanyi Bollywood yang amat terkenal waktu itu. Juga John Lennon dari The Beatles, Led Zeppelin, serta Jimi Hendrix. Mengenai Jimi Hendrix, ia berpendapat, “Jimi Hendrix is very important. He's my idol. He sort of epitomizes, from his presentation on stage, the whole works of a rock star. There's no way you can compare him. You either have the magic or you don't. There's no way you can work up to it. There's nobody who can take his place.”

Freddie juga sangat mengagumi Liza Minnelli. “One of my early inspirations came from Cabaret. I absolutely adore Liza Minnelli, she's a total wow. The way she delivers her songs-the sheer energy, “ katanya tentang sang b
iduan.

Salahsatu ciri khas Freddie –ini sangat memengaruhi lagu-lagu Queen– adalah nada-nada yang digunakannya. Dalam menciptakan tembang, Freddie termasuk seorang musisi ciamik, mampu menempatkan unsur-unsur teater dalam lagu-lagu ciptaannya yang kemudian menjadi hits Queen. Simak saja Bohemian Rhapsody, tak ada band rock yang melodinya naik-turun, dari tinggi menuju rendah, dari rendah menuju tinggi secara “brutal” seperti yang dimainkan Queen.

Namun sangat disayangkan, Freddie Mercury meninggal dalam usia muda, pada 24 November 1991, tepat saat umurnya mencapai 45 tahun, penyakit AIDS menggerogoti tubuhnya. Padahal, usianya bisa dikatakan masih cukup mumpuni untuk berkarya lebih.

Toh
begitu, tetap saja Freddie meninggalkan sesuatu yang hebat yang
bisa dikenang umat manusia, khususnya para pecinta rock, yang masih memainkan musiknya hingga kini.* (LPAP)

selengkapnya >>>

Deg-Deg-Plas Rock n’ Roll Indonesia

Oleh Petrik Matanasi

SUATU HARI
di bulan Desember 1999, aku mengalami kejadian yang tak akan kulupa. Ayahku marah dan punggungku dipukul. Kendati aku tidak mendendam, setelah kejadian itu aku langsung kabur. Entah kemana aku lupa, pokoknya lari dan lupakan semua!

Semua bermula dari kegemaranku pada lagu-lagu tempo dulu. Satu-satunya hiburan dihunianku yang sempit waktu kecil hanyalah piringan hitam. Ya, piringan hitam milik ayah dan itu adalah barang paling berharga miliknya. Ayah akan marah bila kuputar lagu Speed King dari piringan hitam Deep Purple miliknya. Dia nyaris memukulku waktu aku ketangkap basah sedang memutar lagu tersebut. Sejak itu, selama beberapa waktu aku tidak berani menyentuh barang keramat milik ayah itu lagi.

Persetan dengan kawan-kawan yang merasa hebat dengan lagu Backstreet Boy (Gila, ada juga anak-laki-laki penggemar Boyband). Entahlah, aku pun juga tak begitu tahu tentang kehebatan –seperti yang dibilang ayah– band-band legendaris semacam The Beatle's, Queen, atau barang kali Pink Floyd. Aku lebih tertarik mencari tahu nama besar mereka.

Aku pernah menonton di film tentang Beatles, dan aku tidak begitu paham. Hanya tergambar di kepalaku band itu selalu membuat para gadis jaman itu menjerit histeris. Pernah juga aku mendengar Presiden Soekarno melarang karya-karya Beatles beredar di Indonesia, Ngak Ngik Nguk katanya. Lagu-lagu barat dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Negara rupanya berhak mengatur selera musik rakyat yang mereka tindas. Pemerintah waktu itu, seperti sering dihimbau dalam suratkabar Harian Rakyat milik Partai Komunis Indonesia (PKI), masyarakat diminta menyerahkan piringan hitam Beatles atau musik barat lainnya secara sukarela. Rasanya tidak ada pemuda pecinta rock n’ roll yang rela menyerahkan piringan hitamnya.

Pemerintah Orde Lama paling paranoid soal musik. Koes Bersaudara, misalnya, harus masuk bui karena nekad membawakan lagu I Saw Her Standing There. Dalam acara itu, keributan terjadi, atap di tempat konser dilempari batu oleh orang-orang yang katanya pendukung revolusi Soekarno yang anti kapitalis.

Kejatuhan Soekarno memberi nafas bagi musik rock di Indonesia. Di masa-masa kebangkitan ini, Koes Plus merekam dan merilis Deg Deg Plas (1969). Album ini tidak terlalu sukses penjualannya karena masyarakat masih trauma dan belum bisa menerima lagu-lagu dengan jenis seperti itu. Beberapa lagu dalam album Deg Deg Plas di antaranya seperti Manis dan Sayang, Derita, Awan Hitam, Kembali Ke Jakarta, atau Cintamu Telah Berlalu, yang kemudian justru populer bahkan hingga kini, meski harus mengalami penolakan terlebih dahulu sebelum publik bisa menerimanya.

Tersebutlah seorang pemuda kelahiran Tuban, Jawa Timur, pada 19 Januari 1936 bernama Koestono Koeswoyo. Putera dari seorang pegawai negeri di Departemen Dalam Negeri ini begitu tertarik pada musik rock n’ roll yang sedang mengila di Barat sana. Tony Koeswoyo, begitu orang mengenalnya, lalu mengajak saudara-saudaranya yang laki-laki untuk membentuk band keluarga. Tony setidaknya pernah bermain band bersama kawan-kawannya dalam grup Teruna Moeda, yang salah satu personilnya adalah Sopan Sophiaan, mantan fungsionaris PDI-P dan anggota DPR.

Band itu kerap mendapat job menggung. Kendati bayarannya tidak seberapa, namun mereka sudah senang bisa pentas selain bisa makan gratis dalam pesta-pesta remaja yang kerap mengundang mereka tampil. Namun, band itu juga tidak tanpa usaha. Mereka juga berusaha menyambangi sebuah perusahaan rekaman. Nama besar yang terlibat dalam rekaman itu adalah Jack Lesmana, ayah Indra Lesmana dan Mira Lesmana.

Bagi Tony Koeswoyo, musik adalah hidupnya, meski pada awalnya bukan sebagai mata pencaharian yang menjanjikan (Tony sempat bekerja di Perkebunan Nusantara). Tony terus melangkah bersama band-nya yang berubah nama dari Koes Bersaudara menjadi Koes Plus. Dua adik Tony, Yon dan Yok tetap bersamanya. Abang mereka, Jhon, yang pernah ikut dalam band, belakangan tidak ikut lagi. Namun Jhon merelakan sebagian gajinya dipakai untuk membeli peralatan bermusik. Jhon, seperti juga ibu mereka, sering menjadi sasaran omelan Koeswoyo yang tampak tidak rela anak-anaknya bermain band karena masa itu menjadi musisi tidak akan bisa hidup mapan.

Tony memimpin adik-adiknya dan anggota baru mereka Murry dalam Koes Plus. Band ini kemudian menjadi legenda musik Indonesia. Mereka berjaya pada kurun 1970-an dengan lagu-lagu yang easy listening dan sederhana. Musik yang diusung Koes Plus menjadi pelopor perkembangan musik pop setelah kejatuhan Soekarno. Tony dan saudara-saudaranya harus merasakan penjara karena kegilaan mereka ini. Meski Koes Plus tidak nge-rock di tahun 1970-an, tetapi mereka seperti menjadi pembuka lembaran baru bagi perkembangan musik rock tanah air lewat album Deg Deg Plas -yang oleh sebagian pihak dianggap gagal dari sisi penjualan namun memiliki beberapa lagu pop yang legendaris.

Apapun musik yang diusung Tony Koeswoyo, sangat munafik jika menggeser namanya dari jajaran tokoh musik rock tanah air. Perjuangan Tony yang kerap mengusung lagu-lagu The Beatles diawal karir musik adalah usaha berani yang membuat mereka harus di bui di penjara Glodok.

Aku ingat lagi di tempat ayahku tinggal sekarang, piringan hitam Deg Deg Plas itu masih ada. Lagu-lagu mereka masih nyaman didengar. Omongan kawan-kawan sekolahku yang mencela seperti juga lagu-lagu lama, termasuk karya Koes Plus, adalah ketinggalan zaman, kuanggap hanya sebagai omong kosong. Laiknya anak kecil, mereka hanya tahu bahwa yang terbaru adalah yang terbaik. Musik adalah masalah selera. Setiap penikmat musik punya ukuran sendiri mana musik yang bagus. Anak kecil hanya bisa bilang musik terkinilah yang terbaik.

Album gagal dalam penjualan tidak selamanya buruk dari sisi musikalitas. Entah apa yang dipikirkan Tony. Orang pada masa itu boleh saja memasukan rekaman mereka ke tong sampah. Sekarang album yang katanya dulu tidak laris itu masih kerap diputar, walau semakin jarang yang memutarnya sekarang ini karena orang lebih “menyukai” lagu-lagu baru biar tidak ketinggalan jaman, kata mereka. Bagaimanapun, Tony Koeswoyo, Koes Bersaudara, serta Koes Plus menjadi salahsatu matarantai dalam perkembangan msuik pop tanah air hingga seramai dan beragam seperti sekarang ini.*
(P.M)

selengkapnya >>>

Negara Imagine John Lennon

Oleh Petrik Matanasi

ENTAH APA yang terlintas di kepala John Lennon. Bayar pajak memang mengesalkan. Mungkin Lennon enggan, tapi rasanya uangnya tak akan habis hanya untuk bayar pajak. Negara lahir untuk menghindari kekacauan. Nyatanya, kekacauan yang dilenyapkan negara hanya menghasilkan pembungkaman yang menusuk sisi-sisi kemanusiaan atas nama negara. Mungkin itu yang dibenci Lennon dari negara.

Benar adanya bila banyak orang yang mati negara--namun tidak semuanya dilabeli pahlawan, karena banyak juga yang dilebeli sebagai pengkhianat. Seperti halnya sejarah, negara juga dibangun dengan lumuran darah. Ketika Republik ini dibangun pun bergalon darah tercecer oleh Revolusi--tidak heran bila Soekarno bilang, bahwa Revolusi pasti akan mengorbankan anaknya--pada awal kemerdekaan Republik mimpi ini.

Lantas, bila negara terbangun apakah akan selesai tetesan darah itu? Rasanya belum darah masih akan menetes entah untuk siapa? Katanya untuk negara. Lantas orang miskin akan bertanya, siapa itu negara? Apakah negara itu orang-orang kaya? Orang kulit hitam di Afrika Selatan zaman Apartheid bertanya, apakah negara itu orang-orang kulit putih. Di Burma orang juga pasti bertanya, apakah negara itu milik kaum mayoritas?

Negara nyatanya tidaklah milik rakyat--padahal negara disetting untuk melayani kebutuhan manusia yang bernafas naungan wilayah yang diklaim negara itu. Apa yang banyak terjadi, Negara tidak lebih dari institusi yang didominasi orang-orang kolot.

John Lennon bukan negara
wan--
walau nama tengahnya Winston yang dicomot dari nama Winston Churchild. Imagine there no country, seperti dalam lirik lagu Imagine rasanya kurang dipedulikan orang. Lagu anti perang dan penindasan itu kerap dinyanyikan ketika terjadi bencana alam. Lagu ini sebenarnya bukan menggugat alam kejam buah tangan Tuhan ini. Imagine lebih bicara tentang kebodohan manusia.

Lennon memang bukan sejarawan, namun Lennon merasa Negara juga pe
nindas. Lihat saja zaman raja Louise di Perancis. Zaman sekarang, dimana manusia merasa merasa paling beradab dari masa sebelumnya, Negara masih tetap dengan jiwa yang sama--hanya dengan wajah berbeda saja. Ini zaman dimana demokrasi adalah wajah negara di dunia.

Negara kerap merasa menjadi penguasa dunia. Seperti kata Marx, negara adalah institusi yang berhak menggunakan kekerasan kepada rakyatnya. Dengan kata Marx itu, betapa kaum komunis juga komunis, tidak memiliki konsep negara ideal ala Marxis. Mengapa harus ada Uni Soviet pascaRevolusi Rusia Oktober 1917. Marx sendiri tidak berkoar soal negara kecuali menggugat sistem kapitalis--di mana negara-negara besar di Barat bersekutu dengan pemilik modal. Di mana rakyat sebagai manusia diperbudak. Negara bisu ditengah derita sebagian besar manusia oleh injakan sejarah. Negara bahkan menjadi kaki yang menginjaknya.

Imagine, tanpa Lennon sadari, berusaha menghentikan penginjakan kaki sejarah atas manusia—“menghapuskan penghisapan manusia atas manusia" kata Marx. Lennon bukan Marxis yang inginkan Negara tidak ada—kecuali masyarakat Sosialis bagi kaum marxis tapi entahlah masyarakat macam apa yang diinginkan John Lennon.

Bayangkan bila tidak ada negara. Tidak akan ada orang yang mati untuk negara juga tidak ada kekerasan. Itu yang terngiang pada pertengahan lagu Imagine yang ditulis John Lennon. Sayang lagu itu lebih banyak dianggap bualan Lennon saja—padahal tidak sulit membayangkannya kecuali mewujudkannya. Dunia, bagi banyak manusia, butuh Tuhannya sendiri. Negara, Tuhan manusia di dunia itu, akan murka bila meresapi lagu Imagine-nya John Lennon itu—juga bila membaca tulisan ini, sendiri.

*Didedikasikan untuk John Lennon yang ditembak mati Mark David Chapman 27 tahun lalu di New York, Amerika Serikat.
(10 Desember 2007, Petrik Matanasi)
Diunduh dari: jemaridewa.blogspot.com

selengkapnya >>>